Aku Perawan, Aku Ibu, Aku Pelacur: Tapi Tak Pernah Aku Sendiri

Gambar diolah oleh A.

Simone de Beauvoir menulis dalam The Second Sex:

“Seseorang tidak dilahirkan sebagai perempuan, melainkan menjadi perempuan.”

Dan dari kecil, kita diajarkan: jadi perempuan = jadi suci.


Tapi suci versi siapa?

Di mata sejarah dan masyarakat, tubuh perempuan telah lama dibaca sebagai simbol. Ia dibingkai dalam tiga rupa yang terus berulang: perawan, ibu, dan pelacur. Trinitas ini bukan sekadar gambaran imajiner, tetapi konstruksi sosial yang mengekang perempuan dalam peran-peran kaku yang tampaknya bertolak belakang, namun semuanya dikendalikan oleh pandangan patriarkis.


Perawan: Tubuh yang Dipuja, Tapi Dibungkam

Tubuhku dibelah tiga,

satu disimpan di altar,

satu dibelenggu dapur,

satu dibakar di pinggir jalan.


Katanya aku suci.

Katanya aku mulia.

Katanya aku najis.

Tapi tak pernah ada yang tanya, siapa aku sebenarnya?


Dalam banyak budaya, keperawanan masih menjadi standar moral perempuan. Survei UNESCO (2019) di Asia Tenggara menunjukkan bahwa 60% remaja perempuan merasa keperawanan masih dianggap sebagai penentu nilai diri mereka oleh keluarga dan masyarakat. Sementara itu, laki-laki tidak mendapat tekanan sosial serupa.

Di Indonesia, kita masih melihat wacana tes keperawanan untuk calon prajurit perempuan TNI atau pelajar praktik yang dikutuk oleh WHO dan Amnesty International sebagai bentuk kekerasan seksual dan pelanggaran HAM. Tubuh perawan dikultuskan sebagai suci, tapi kesuciannya didefinisikan oleh siapa? Bukan oleh perempuan itu sendiri, melainkan oleh norma yang meletakkan nilai moral pada selaput dara, bukan pada integritas atau agensi.


Ibu: Tubuh yang Disakralkan, Tapi Dibelenggu

Saat perempuan menjadi ibu, tubuhnya berubah menjadi simbol pengorbanan. Ia disucikan sebagai “madrasah pertama,” pelindung moral anak, penjaga rumah tangga. Tapi di balik pengkultusan itu, ada jebakan. Data BPS tahun 2022 menunjukkan bahwa 76% pekerjaan domestik di Indonesia masih ditanggung oleh perempuan, bahkan ketika mereka juga bekerja di ranah publik.

Masyarakat mengagungkan ibu, tapi jarang memperjuangkan kesejahteraannya. Cuti melahirkan di Indonesia masih terbatas 3 bulan, di bawah standar ILO. Akses terhadap layanan kesehatan maternal yang berkualitas masih timpang, terutama di daerah terpencil. Seolah perempuan hanya dihargai selama ia melahirkan dan mengasuh—begitu anak tumbuh, tubuhnya kembali menjadi beban sosial.





Pelacur: Tubuh yang Dihukum, Tapi Tak Pernah Didengar

Oriana Fallaci, jurnalis Italia, menulis:

“Seorang perempuan yang bebas adalah perempuan yang membayar tagihannya sendiri.”

Pelacur adalah sisi lain dari koin yang sama. Jika perawan adalah tubuh yang disucikan, maka pelacur adalah tubuh yang dikutuk. Namun keduanya disusun oleh narasi yang sama: kontrol terhadap seksualitas perempuan.

“Jangan jadi pelacur,” katanya,

sambil menyewa kamar hotel untuk siangnya.

Ironisnya, banyak negara, termasuk Indonesia, tidak mengakui kerja seks sebagai bentuk pekerjaan. Padahal menurut riset dari Human Rights Watch dan Koalisi Perempuan Indonesia, mayoritas pekerja seks melakukannya karena tekanan ekonomi dan ketimpangan akses pendidikan, bukan karena “pilihan bebas.” Mereka dihukum lewat razia, pengusiran, bahkan kekerasan apparat sementara konsumennya sering lolos tanpa konsekuensi.

Dalam representasi media dan sastra, pelacur seringkali diberi dua jalan: bertobat atau mati. Ia tidak diberikan ruang untuk menjadi manusia yang kompleks ia hanya boleh menjadi alat naratif untuk moralitas orang lain.


Tubuh Perempuan Harus Diambil Alih oleh Perempuan Sendiri

Ketiga sosok ini perawan, ibu, pelacur adalah arketipe yang terlihat kontras, tapi pada dasarnya satu: mereka semua adalah versi tubuh perempuan yang didefinisikan oleh luar dirinya. Perawan untuk memuaskan moral masyarakat. Ibu untuk memenuhi harapan domestik. Pelacur untuk memuaskan syahwat, tapi tanpa hak.

Perempuan hanya diberi ruang identitas dalam relasi terhadap laki-laki dan sistem. Maka bukan hal baru jika perempuan berkata: aku perawan, aku ibu, aku pelacur, tapi tak pernah aku sendiri.

Sudah saatnya perempuan tidak lagi dibaca sebagai simbol, tapi sebagai subjek. Tidak lagi diukur lewat fungsi tubuhnya, tapi lewat keberadaannya sebagai manusia utuh yang bisa memilih, mengontrol, dan mendefinisikan dirinya di luar kerangkeng trinitas usang ini.

Karena tubuh perempuan bukan peran yang diwariskan, bukan medan perang ideologi, bukan alat ukur moralitas siapa pun. Ia adalah wilayah berdaulat dengan batas yang tak ditentukan oleh agama, negara, atau cinta laki-laki.

Perempuan tak lahir untuk dipilih menjadi suci, subur, atau hina. Perempuan lahir untuk menentukan sendiri: siapa dia, apa tubuhnya, dan ke mana ia akan berjalan. Dan jika dunia belum siap menerima tubuh perempuan yang utuh, maka biarlah dunia yang berubah bukan tubuhnya.


Penulis: Menjadi Sunyi, Mahasiswi purna waktu, banyak melamun, kadang-kadang membaca, banyak jarangnya

Editor: A.

1 komentar untuk "Aku Perawan, Aku Ibu, Aku Pelacur: Tapi Tak Pernah Aku Sendiri"

Anonim 08 Mei, 2025 08:49 Hapus Komentar
🤍🤍🤍