Tentang Patung sebagai Pemantik Refleksi: Memangkas Jarak Ruang dan Waktu

Foto: Dok. Kedai Lahan Subur

RUPA-RUPANYA #2 “Imajinasi”- Hilmi Fahrurozi
(Tentang Patung Sebagai Pemantik Refleksi: Memangkas Jarak Ruang dan Waktu)

Ada satu keresahan yang sudah lama mengendap: kenapa patung terasa begitu jauh dari kita?  Musik, grafis, mural, bahkan seni pertunjukan—semua ramai dibicarakan. Tapi patung? Ia sering dibiarkan berdiri diam, dipuja dalam hening galeri atau museum, seolah bukan untuk disentuh pikiran banyak orang.  Banyak orang berpikir, untuk "mengerti" patung harus sekolah seni. Benarkah demikian?  Karya seni, apalagi patung, bukan cuma untuk dikagumi sambil menahan napas di ruang steril ber-AC dingin. Ia harusnya bisa hadir di tengah obrolan sehari-hari, sesantai kopi panas yang dapat dinikmati dengan kawan.

Bertempat di Kedai Lahan Subur (29/04) malam. “Rupa-rupanya #2” ini muncul sebagai alternatif. Meminjam apa yang pernah diucapkan Ombags saat Artropoda bulan lalu di tempat yang sama do it your self atau do it with your friend. Kalau akses ke galeri itu mahal, rumit, atau terasa asing, kenapa tidak kita buat sendiri asksesnya?  Setelah sebelumnya “Rupa-rupanya” membahas karya Dwi Prakoso yaitu lukis, kali ini “Rupa-rupanya” mengajak karya patung oleh Hilmi Fahrurozi. Kalau patung "terkurung" di ruang-ruang elit, kita bebaskan dia ke tempat yang lebih hidup — kedai kopi misalnya. Tempat di mana ide-ide liar, obrolan nyeleneh, dan tawa keras tak pernah dilarang. Menurut Bourdieu, seni itu bukan sekadar soal karya itu sendiri, tapi juga habitus, akses, dan kapital budaya.  Dalam dunia seni, siapa yang boleh berbicara dan siapa yang harus diam sering kali ditentukan oleh struktur sosial — institusi galeri, kurator, wacana akademis, semua itu menciptakan jarak suci sacred distance Ini adalah semacam batas tidak kasat mata yang membuat seni terasa "bukan untuk semua orang", sehingga banyak orang biasanya cenderung merasa tidak punya otoritas untuk membahasnya.

Padahal, seni tidak pernah dilahirkan untuk menjadi suci. Seni, termasuk patung, lahir dari tangan manusia—dari kekacauan pikiran, dari pencarian bentuk-bentuk baru yang justru butuh dirayakan bersama.  Membicarakan patung di kedai kopi adalah gerakan kecil sebagai upaya merebut kembali seni dari tangan-tangan yang mengawetkannya.  Kita bisa berkata: patung tidak butuh ruangan putih luas untuk jadi agung. Ia cukup butuh ruang hidup, tempat perdebatan, tempat pertanyaan naif bisa dilontarkan tanpa takut salah.  Akhirnya, seni bukan cuma milik segelintir orang.  Seni, termasuk patung, kembali jadi apa yang seharusnya: milik kita semua tidak sekedar diawetkan dan menjadi monumen yang jarang digubris.  Karena jika akses itu tidak ada, kita ciptakan sendiri. 

Lewat karya berjudul Imajinasi Hilmi mengajak kita untuk kembali menengok bagaimana tumbuh kembang anak-anak dengan dunia permainanya. Karya yang ditujukan sebagai refleksi ini berupaya menyentuh penikmat untuk berpikir ulang mengenai sekitarnya, bagaimana anak-anak sekarang bermain. Bagaimana interaksi dan dunia imajinisainya yang kaya harus dibebaskan dari belenggu-belenggu yang menekan dan serba instan. Karya yang dibuat dari mainan bekas ini mengajak kita bernostalgia pada dunia anak dengan imajinasi yang dapat “menghidupkan yang mati”. Dalam obrolan yang berjalan malam (29/04) kemarin Hilmi membuka peluang untuk karyanya memiliki perpanjangan tangan lebih kepada khalayak serta mendapatkan kritik serta saran. Memang idealnya adalah bagaimana karya seni juga dimiliki oleh siapapun bahkan oleh penikmat karya itu, bukan hanya oleh pengkaryanya sendiri.


Dokumentasi:

Foto: Dok. Kedai Lahan Subur

Foto: Dok. Kedai Lahan Subur

Foto: Dok. Kedai Lahan Subur

Foto: Dok. Kedai Lahan Subur

Foto: Aldo N.

Penulis: Munanda Okki Saputro

Editor: A. 

Posting Komentar untuk "Tentang Patung sebagai Pemantik Refleksi: Memangkas Jarak Ruang dan Waktu"