Safari: Memelajari yang Tanggal

 

Gambar diolah oleh A.

Selamat tinggal bulan April. Bulan yang lekat dengan mop di kalangan anak muda, serta peringatan hari Kartini di sekolah-sekolah itu telah usai. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, April 2025 makin lengkap dengan perayaan Idulfitri. Keluarga besar berkumpul, teman-teman rantau pulang, dan di situlah peristiwa obrolan terjadi.

“Kapan menikah?” ditujukan kepada pemuda-pemudi sebelum tigapuluh tahun.

“Kapan lulus?” ditujukan kepada pemuda-pemudi berstatus mahasiswa atau siswa.

Dan, sederet pertanyaan berdasar “kapan” lainnya. Jawaban langsung yang paling mudah ditemui adalah: Nggih. Namun ketika orang yang memberi jawaban pulang, lalu bertemu dengan teman-temannya, seketika nggih terdegradasi. Di balik itu semua, diksi bahasa Jawa sik mengakomodasi mengapa hal itu bisa termaklumi: mesti dikembalikan kepada keputusan masing-masing pihak.

Tetapi, kejadian demikian merupakan hal biasa. Yang tidak biasa bagi kita adalah membaca. Padahal membaca tidak membuat seseorang meninggal. Begitu kira-kira ajakan Leluasa untuk menengok tulisan-tulisan yang tayang pada April 2025. Bulan di mana teks yang tayang di Leluasa mengajak pembacanya bersafari: gagasan maupun kegiatan.

Wake The Dead dinyanyikan penuh lompatan oleh Comeback Kid. Harapan dan bertahan menjadi dua diksi yang melekat saat pendengar mencoba meresapinya. Dari situ, kita berangkat membaca Musik Hardcore dari Kacamata Orang Awam (6/4) garapan Novia Eka Mardani.

Setiap orang pasti berkenalan dengan sesuatu. Baru-baru ini kita tahu apabila Mardani baru saja mengenal musik hardcore. Dia datang bukan sekadar menikmati belaka, ia mencari, mempertanyakannya, kemudian membicarakannya. Berkat pergulatan yang ia tempuh itu, ternyata telah menggeser pengertiannya atas musik hardcore selama ini.

Mungkin apa yang dilakukan Mardani dapat disalin-tempel pihak yang masih menganggap musik hardcore sebagai sesuatu yang tidak jelas. Jika dilakukan dengan proses belajar, kita akan mendapat abstraksi. Mardani mengatakan bahwa hardcore punya kedalaman yang mungkin lebih jujur daripada banyak genre musik lainnya.

Begitulah hubungan Mardani dengan musik hardcore. Penuh pertanyaan. Seraya diiringi Wake The Dead, kita membaca puisi Adakah Aman (10/4) gubahan Kriterdaka. Imbauan untuk melawan disampaikan di akhir puisi oleh Kriterdaka. Mengapa kita melawan? Mungkin alasan sederhananya bisa membaca puisi Adakah Aman secara terbalik: dari bait terakhir ke bait sebelumnya.

Terpantik terbakar dan hangus. Begitulah penutup puisi Kriterdaka jika dibaca dengan pola terbalik. Tidak bisa tidak jika baris terkait dihubungkan dengan realitas yang terjadi di hadapan. Siapa yang tidak terbakar, mari mengingat Kacamata edisi bulan Maret. Ketika segalanya di bawah kendali, dan bahasa mengambil satu fungsi: mengatur, maka tak ada pilihan selain mengambil balik bahasa yang kita miliki bersama.

Sangat kejam apabila bahasa yang kita miliki sampai terbakar dan hangus. Sebab, tidak mungkin kita berpuisi secara bebas. Bayangkan, jika puisi yang terbaca saban membukanya hanya berisi “siap/ siap/ siap”. Bahasa milik siapa jadinya? Kriterdaka mengingatkan kita akan hal itu. Dari hal terkecil: Siapa yang menjaminmu untuk merasa aman?

Tidak ada. Sama sekali tidak ada. Karenanya, kekalahan demi kekalahan mesti dirayakan. Sebagaimana yang disampaikan Sensitrick lewat Layaknya Kemenangan, Kekalahan Juga Harus Dirayakan (14/4). Ia mengisahkan dengan mustahak bahwa selama ini perayaan hanya terjadi saat kemenangan diraih. Namun, kekalahan selalu tanggal. Meski tak ada argumen konkret mengapa kekalahan dibiarkan seperti itu.

Bayangkan Versus vs Versus (2025) menjadi tajuk yang dipilih Sensitrick dalam EP terbarunya. Bila judul album itu dibaca dengan saksama maka bunyi dari mulut yang muncul, “versus versus versus”. Semua tentang pertarungan. Tetapi, Sensitrick mengambil sudut pandang lain: kekalahan harus dirayakan! Sesuatu yang kerap diangggap memalukan, olehnya diberi tempat sejajar dengan kemenangan.

Sebab, kehidupan tidak serta merta tentang menang kalah belaka—sepertinya. Maka, Kolase untuk Metafora Kehidupan (18/4) dilakukan di pinggir Bengawan Solo. Kali dengan peran historis yang kini apabila dipandang dari jembatan Butuh kadang-kadang berwarna hitam. Mungkin alasan Linimasa yang dicatat bukan menyoal itu, tetapi kehidupan. Begitulah, pengakuan Anggoro.

Di tengah laju hidup yang sangat cepat, mencatatnya dalam bentuk kolase merupakan alternatif yang dapat dijalankan. Ini bukan lagi menyoal kekalahan, sebab metafora yang dimaksud Linimasa berkait dengan waktu. Betapa kala mengarungi hidup, di setiap prosesnya, kita tak pernah sempat untuk mengarsipkannya. Yang tak utuh, disusun, betumpuk-tumpuk, menggambarkan segala laku yang dihadapi seseorang.

Ketika berkumpul dengan masyarakat Jawa, hidup kerap dilekatkan dengan pesan narima ing pandhum. Pesan yang memiliki tafsiran beragam. Menurut Soklin Surya, ternyata melakoni intisari pesan itu bukan sesuatu yang mudah. Pengakuan Narimo Records: Karena Narimo Terlalu Berat untuk Menerima Ini Semua (27/4) berisikan pernyataan yang cukup mendalam.

Perjalanan label yang digagas Surya ternyata berjalan dengan penuh tantangan. Melewatinya tidak mudah. Meski berat, Narimo Records tetap menerima keadaan, dengan catatan berjalan sembari tangan mengepal. Sebab, tumbang bukanlah sebuah pilihan yang apik. Surya menjawab pertanyaan—yang barangkali—bukan ingin disampaikan kepada Leluasa belaka. Proses produksi karya musik hingga dinikmati pendengarnya berjalan panjang.

Perjalanan juga ditempuh Fujiwara ketika Menonton Film Jumbo (29/4). Ia mesti menyelesaikan tugas rumah sebelum kunjungan pertamanya ke bioskop. Ara mesti ndangak ketika menonton film yang hangat dibicarakan publik itu. Duduknya di baris kedua depan layar.

Peristiwa rinci sejak keberangkatan hingga di dalam bioskop diceritakan Fujiwara rinci. Iklan yang biasanya tak dihiraukan penonton mendapat perhatian olehnya. Ini situasi unik. Seorang teman pernah mengatakan bahwa pertunjukan teater dimulai sejak poster mulai dipublikasikan. Mungkinkah Fujiwara melakukan pengamatan semacam itu?

Kadang sesuatu memang mesti dilihat menggunakan kacamata beragam. Sungguh eman bila April dipenuhi “kapan” semata. Setiap tulisan kita temui lekat dengan pelbagai motif. Dari situ kita belajar, bila bahasa digunakan sungguh-sungguh oleh penggunanya maka sifatnya ialah untuk berpengetahuan. Karena jika bahasa sampai mengambil fungsi mengatur belaka, pertanyaannya adalah kapan bahasa segera dibebaskan?

Penulis: Rudi Agus Hartanto

Posting Komentar untuk "Safari: Memelajari yang Tanggal"