Dilematis Pembangunan Pertanian di Indonesia
![]() |
Gambar: Theo Traperta |
Pembangunan dapat diartikan sebagai proses perubahan sosial yang dilakukan secara sadar dan terencana meliputi ekonomi, sosial, politik dan lingkungan menuju perbaikan, pertumbuhan, dan perubahan ke arah yang lebih baik. Pembangunan pertanian menjadi aspek penting dalam membangun perekonomian nasional. Sektor pertanian menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar dan menjadi sumber penghidupan bagi sebagian besar penduduk di pedesaan. Namun, pembangunan pertanian menghadapi berbagai dilema yang kompleks. Di satu sisi pemerintah dituntut untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing guna melaksanakan swasembada pangan dan mendukung ekspor. Di sisi lain pembangunan yang terlalu berorientasi secara masif cenderung mengabaikan aspek sosial dan lingkungan untuk berkelanjutan jangka panjang.
Nilai tukar pertanian yang
rendah menjadi refleksi ketimpangan struktural dari sektor pertanian. Salah
satu penyebab dari nilai tukar rendah adalah biaya produksi yang terus
meningkat. Seperti kenaikan harga pupuk, pestisida, benih unggul yang menjadi
beban berat untuk petani kecil. Kondisi ini membuat petani kesulitan dalam
membiayai produksi mereka. Pendapatan petani dari hasil menjual produknya tidak
cukup untuk menutup biaya yang mereka keluarkan untuk kebutuhan produksi dan
rumah tangga. Daya beli petani menurun, keuntungan yang kian menyempit, dan
semangat bertani menjadi melemah.
Pemerintah telah merancang dan melaksanakan kebijakan
subsidi untuk meringankan beban petani. Salah
satu bentuk subsidi yang paling menonjol ialah subsidi pupuk. Pemerintah
memberikan harga pupuk yang jauh di bawah harga pasar sehingga petani dapat
mengakses input utama dengan biaya yang lebih ringan. 1 Januari 2025 Kementerian
Pertanian menetapkan Harga Eceran Tertinggi untuk berbagai jenis pupuk
bersubsidi. Diantaranya adalah Pupuk Urea yang dijual Rp2.250/ kg, Pupuk NPK
Rp2.300/ kg, Pupuk Organik Rp800/ kg yang tercantum pada Keputusan Menteri
Pertanian No.644/KPTS/SR.310/M/11/2024. Dipasar harga Pupuk Urea sekitar
Rp2.520/ kg atau sekitar Rp126.000/50 kg. Pupuk NPK sekitar Rp20.000-Rp35.000/ kg
menurut e-commerce (Blibli), jika dikonversikan ke 50 kg sekitar 1 hingga
1.750.000 rupiah dan jauh lebih tinggi dibandingkan harga subsidi yang hanya
mencapai Rp115.000/50 kg. Pupuk Organik di pasar umumnya 5.000-10.000 rupiah/ kg.
Namun
apakah ini menjadi jawaban final dari kondisi yang dialami oleh petani? Kebijakan
ini tidak lepas dari potensi moral hazard, yaitu situasi ketika petani kurang
bertanggung jawab karena merasa kerugiannya akan ditanggung oleh pihak lain. Penyalahgunaan
subsidi bagi petani yang menerima subsidi terkadang malah menjualnya kembali ke
pasar. Hal ini menyimpang dari tujuan awal pemerintah memberikan subsidi. Gampangane
ngene “pupuk e tak dol wae ben entuk duit ketimbang sukmben nek aku gagal panen
sak orane aku nyekel duit”. Menurut Antara News Jateng (2025) ada oknum
yang membeli pupuk subsidi dari seorang petani sekitar Rp115.000/50 kg. Kemudian
ia jual kembali ke masyarakat umum dengan harga Rp175.000/50 kg untuk pupuk
urea dan Rp160.000/50 kg untuk Pupuk NPK. Jauh melebihi HET yang ditetapkan
pemerintah: Pupuk Urea Rp112.500/50 kg dan Pupuk NPK Rp115.000/50 kg. Disatu sisi
pemerintah telah memberikan jawaban solusi dari permasalahan biaya produksi
yang semakin tinggi. Di sisi lain hal ini menyebabkan moral hazard yang
dilakukan petani tidak menggunakan pupuk untuk memproduksi tetapi malah
menjualnya dan menyebabkan dilema antara kebijakan pemerintah dan perilaku
petani. Kondisi ini terjadi antara pemerintah dan petani lokal. Tantangan selanjutnya
ada keterkaitannya dengan negara luar.
Pasar
bebas menjadi tantangan di Indonesia. Meskipun terlihat menjanjikan karena akses perdagangan meluas dan peluang
ekspor meningkat. Akan tetapi pasar bebas berpotensi merugikan petani skala
kecil. Dampaknya adalah melemahnya daya saing petani lokal. Produk pertanian
dari luar negeri seringkali diproduksi dengan teknologi modern sehingga
harganya jauh lebih murah. Pada saat produk-produk tersebut tiba di pasar
domestik, petani dalam negeri akan kesulitan bersaing, karena masih
menggunakan metode konvensional dan akses modal yang terbatas. Banyak yang
cenderung memilih produk dari luar negeri karena lebih murah ketimbang produk
dalam negeri. Nyataannya produk dan harga menjadi variabel yang sangat
mempengaruhi dalam keputusan pembelian konsumen.
Baru-baru ini pemerintah telah bersepakat tentang
kebijakan ekspor dan impor antara negara Indonesia dan AS yang sangat beresiko
besar terhadap pertanian maupun perdagangan. AS menetapkan tarif ekspor
untuk Indonesia sebesar 32%, namun pemerintah Indonesia menegosisasi tarif
tersebut menjadi 19% saja. Apakah hanya sampai di situ? Lalu di mana resikonya? dan sebagai gantinya, tarif ekspor dari AS ke Indonesia 0% alias gratis. AS
diberikan akses masuk total ke ekonomi Indonesia. Bahkan pihak AS berkata (saya
mengutip dari postingan Instagram @narasinewsroom) ”Mereka (Indonesia) akan
membayar 19% dan kami (AS) tidak akan membayar apapun”. Hal ini akan semakin memperparah
dan mengancam daya saing petani lokal, walaupun bukan hanya produk pertanian
saja yang masuk dari AS. Pedagang juga terancam karena produk dagangannya kemungkinan
besar akan bersaing secara sengit untuk menghadapi produk dari AS.
Pasar bebas untuk para pemilik modal memberikan peluang untuk
melakukan ekspor secara masif. Produksi masal dilakukan untuk memenuhi permintaan
pasar global. Dalam rangka meningkatkan ekspor produk pertanian dan mewujudkan
swasembada pangan, pemerintah Indonesia meluncurkan program besar-besaran salah
satunya food estate yang menargetkan pembukaan lahan hingga jutaan
hektar. Salah satu proyek terbesar adalah di Papua. Pembukaan lahan, penggunaan
pupuk dan pestisida kimia secara berlebihan menjadi dampak negatif bagi
lingkungan. Hal ini mengakibatkan deforestasi, hilangnya keanekaragaman hayati,
dan terganggunya fungsi ekologis di wilayah tersebut. Kebijakan ini juga berpotensi
melanggar hak-hak masyarakat adat yang dapat memicu konflik agraria,
terpinggirnya masyakarat lokal, dan hilangnya sumber penghidupan tradisional
mereka.
Berbagai dilema dirasakan, baik petani, masyarakat,
maupun pemerintah. Untuk refleksi apakah Indonesia siap melakukan pembangunan
pertanian? Apakah Indonesia siap untuk melaksanakan swasembada pangan?
Bagaimana kondisi perekonomian Indonesia setelah ini?
Penulis: Theo Traperta
Editor: A.
2 komentar untuk "Dilematis Pembangunan Pertanian di Indonesia"
1. Untuk kalimat awal terlalu panjang dan bertele-tele sayang, kurang efektif untuk membuka tulisan. Terus, ada juga beberapa istilah yang repetitif.
2. paragraf2 panjang enak e dibagi jadi beberapa bagian tematis supaya lebih enak dibaca. Terus, diperjelas lagi hubungan antara ide-ide besar, misalnya antara kebijakan, dampaknya pada petani, dan realita di lapangan.
(cmiiw)✌🏻
Tulisan ini dibuat agar menjadi bahan refleksi untuk kita, apakah Indonesia sudah siap dalam membangun pertaniannya? semoga bisa menjadi bahan diskusi✌️
Posting Komentar