Pandang: Lokasimu di Tengah Hujan

 

Gambar diolah oleh A.

Rasanya kita perlu menelusuri kembali puisi-puisi mendiang Sapardi Djoko Damono. Puisi yang membuatnya lekat dengan masyarakat sastra Indonesia: Hujan Bulan Juni. Dibicarakan di pelbagai tempat, komunitas, bahkan tak jarang ditemui di undangan pernikahan. Puisi yang sempat mendapat kritik karena dianggap tidak logis, karena di Indonesia, bulan Juni bukanlah waktu musim hujan. Puisi yang hanya bergumam di pikiran saja.

Namun, pada hari-hari bulan Juni 2025, Pak Sapardi benar, bahkan melampaui puisinya. Di hadapan kita hujan bulan Juni terjadi. Sesekali deras, sesekali sekadar gerimis. Rupanya puisi membawa pesan lain yang dapat dikomparasikan dengan data para peneliti iklim maupun lembaga layanan cuaca. Kenyataan itu, Pak Sapardi, membawa kerinduan tentang kebebasan imajinasi bekerja. Sebab, kiwari, sedang terjadi kekalutan imajinasi karena hadirnya akal imitasi.

Dalam waktu singkat, imajinasi seperti tak lagi penting, Pak Sapardi. Tak seperti Hujan Bulan Juni-mu yang telah memantik pelbagai imaji: cinta, kajian, hingga tafsir. Walau begitu, inilah zaman kami, zaman di mana puisi berada di mana-mana. Termasuk ketika akal imitasi (baca: mesin) juga berpuisi, menulis novel, atau membuat esai. Lalu, tempat termenung sebagai ruang untuk menepi, telah terdefinisi. Terekspos. Penuh. Sangat sesak.

Di mana letak imajinasi hari ini, Pak Sapardi? Apakah upaya yang terpayungi diksi “pikir”—dengan segala imbuhannya, telah kikis? Hari memang terang, bulan tetap bersinar, namun tak ada yang ingin mencintai dengan sederhana. Begitulah, Juni hari ini, yang tak lagi tabah, tak lagi bijak, dan arif. Juni yang terbatas imajinasi.

“Mana mungkin bulan Juni, kok, hujan?”

“Penyair sering mengada-ngada.”

Obrolan macam itu, mungkin telah usang. Pak Sapardi mrantasi sejak awal. Tuntas. Sementara, Juni di Leluasa tak sepenuhnya menanggalkan hujan. Puisi Tanah Bertemu Hujan (9/6) gubahan Draft Stocker menggambar hujan dalam situasi runyam sekaligus kelam. Hidup yang kering. Perjalanan gersang.

Pada situasi semacam itu, menjadi manusia seperti kumpulan katarsis, ambiguitas, serta ketidakpastian yang selalu hadir sebagai definisi. Setiap orang rutin menafsir arti hidup. Bagaimana melakoninya; jika berkuasa, menang, dan agung atau terhimpit, kalah, dan sama sekali bukan siapa-siapa.

Munculnya beragam pengertian pada akhirnya menghadirkan persimpangan satu sama lain. Yang dapat mengatur keseimbangan, hidupnya laras. Yang saling menabrak, hidupnya menderita, bisa pula berkuasa. Persimpangan yang kadang-kadang ditiadakan agar menjadi satu arah, sebagaimana hasrat dominan muncul. Merawat tandus dan mengajarinya cara tertawa, tulis Stocker di baris kedua.

Tafsir seperti apa yang didapati pembaca sekalian? Apa yang tumbuh dari puisi? Masihkah menulis puisi hari ini semudah menulisnya seperti guru bahasa mengajar materi puisi? Atau, justru karena hidup, puisi semakin menjauh dan dijauhkan? Stocker menutup puisinya lewat:  Tapi lupa bagaimana merayakan ini semua seperti di baris kedua.

Juni, telah menjadi bulan bahagia bagi sebagian petani di Sragen, Karanganyar, Sragen, dan Klaten, serta daerah lainnya. Mereka sedang merayakan masa panen. Di antara penantian terlanjur memanjang, mereka dapat tersenyum bahagia. Entah ketika menerima segepok uang dari bakul atau mendapati karung gabah lebih banyak dari musim panen sebelumnya. Juni menjelma waktu spiritual petani: bersyukur.

Hal itu mendasar dan mengandung makna mendalam, di tengah pergulatan narasi sejarah nasional yang masih menjadi perdebatan di medan wacana, petani rupanya tak ikut andil. Mereka sudah biasa untuk diliyankan,  terasing, dan tak menjadi catatan. Yang selalu ada dalam sejarah adalah tokoh, raja, presiden, dan peristiwa nasional.

Petani—penggarap, gurem, dan turunannya, selalu menjadi narasi yang terlanjur lalu. Padahal, mereka mengambil peran yang fundamen berkait masalah perut. Barangkali jika dijadikan judul sesuatu: urusan perut, sejarah perut, pahlawan perut. Namun, hal itu masih urung terjadi dalam waktu dekat.

Kita sibuk dengan barang besar, hingga lupa bahwa printilan juga penting. Jumlahnya banyak, beraneka ragam, bila tersakiti maka menjadi sesuatu yang besar. Serupa Hujan Bulan Juni-nya Pak Sapardi yang dipelajari setiap generasi, yang kadang juga dilibatkan dalam peristiwa besar hidup (ikatan cinta, kematian, dan lainnya).

Mulanya, dengan memerhatikan pelajaran geografi dan sosiologi, kita tahu bagaimana siklus musim, karakter demografi, serta karakter sosiokultural suatu masyarakat terbentuk. Begitupula bulan Juni 2025 di Indonesia, maknanya beragam. Ada yang memaknainya dengan menyepi—karena bulan Suro jatuh di bulan sama, atau perayaan pengesahan pendekar lewat knalpot brong atau diikatkan perenungan.

“Maksudmu apa, Bang?”

“Serlok, tak parani!”—bagi posisi, aku kunjungi.

Dua komentar semacam itu, ramai ditemui di pelbagai unggahan di media sosial. Ada yang menanggapi serius, ada pula yang ketus, bahkan ada yang hanya memberi partikel bahasa “ha”. Sungguh, bahasa, di bulan Juni 2025 berperan menciptakan macam suasana, praktik, dan tafsir di ruang sosial yang sangat beragam. Dan, pada saat itulah pembelajar bahasa menjawab pertanyaan: “Untuk apa belajar bahasa?”

“Agar bisa mengatur pikiranmu.”

Bius yang selama ini telah membentuk maksud, pikiran, tindakan, dan turunan terkait lainnya. Kadang-kadang di warung kopi dekat universitas, mereka menyebutnya sebagai hegemoni. Dan, ketika istilah itu terbawa pulang ke tempat yang jauh, orang saat mendengarnya menganggap sama maknanya dengan harmoni.

Kadang hal-hal itu dianggap masalah besar, kadang pula dijadikan lucu-lucuan. Namun, pergeseran makna bahasa bukankah kejadian kerap ditemukan? Ketika orang Surabaya ke daerah Solo terkejut karena mari berarti sembuh, di mana mereka mengartikannya sebagai selesai. Atau, healing dari bahasa Inggris diterjemahkan sebagai piknik atau berlibur, sementara makna literalnya adalah sembuh.

Pak Sapardi lewat puisi-puisinya mengenangkan bahasa Indonesia. Bahasa yang belakangan, oleh penggunanya kerap dipaksakan pada satu kalimat dengan bahasa asing. Namun, bahasa Indonesia tetap menerimanya dengan berlapang dada. Ia (baca: bahasa Indonesia) tak mengirim pesan “serlok, tak parani!”

Pak Sapardi, Bahasa Indonesia tetap berterima meski bulan Juni basah.


Penulis: Rudi Agus Hartanto

Posting Komentar untuk "Pandang: Lokasimu di Tengah Hujan"