The Rubanah: Melawan Keterbatasan
“Secara benang merah, album ini adalah bentuk proses kami dalam meramu sebuah musik, di mana kami mencoba melawan beberapa keterbatasan kami dalam proses meramu. Dan album ini adalah hasil dari proses perlawanan kami atas keterbatasan itu sendiri” -The Rubanah
Halo, The Rubanah salam kenal kami dari Leluasa. Bagaimana kabarnya hari ini?
Halo, Mas. Salam kenal juga. Baik, Mas. Alhamdulillah.
Seperti apa cerita pertemuan kalian? Mungkin bisa perkenalkan dulu grup ini diperkuat siapa saja.
Kami bertemu di kampus. Kebetulan sama-sama teman kampus dan awal ketemunya pas ada persiapan acara ospek di prodi kami. Awalnya ngobrol-ngobrol pengin bikin band gitu, Mas. Itu di sekitar akhir tahun 2022 deh, kalau gak salah. Ya sudah deh kita sepakat buat bikin band aja dengan anggota awal: Mbe (vocal), Ilham dan Iqbal (gitar), Jibran (drum), serta Bagas (bass). Tetapi karena ada satu dan lain hal, bassis kami Bagas, keluar dari band. Jadi untuk saat ini kami sementara berjalan berempat, dengan dibantu Iyan sebagai Bassis kami.
Apa yang mendorong kalian hingga memutuskan untuk membuat proyek ini?
Keinginan yang mendorong kami adalah pengin ngeband aja sih, Mas. Soalnya di kampus kami, UNS, kayaknya sedikit banget yang ngeband. Jadi kami pengin ada yang ngeband, bikin acara, terus seru-seruan bareng gitu, Mas.
Apa itu The Rubanah? As a name memiliki arti apa?
Hehehe. Oke, Mas. Nama Rubanah kita ambil dari bahasa Indonesia baku, yang merupakan terjemahan dari basement dalam bahasa Inggris, yang sebenarnya juga berarti ruang bawah tanah.
Melihat akun Instagram The Rubanah, kalian memperlihatkan proses produksi album di dalam indekos/kontrakan secara mandiri. Bagaimana ceritanya? Kenapa produksi sendiri?
Ceritanya agak panjang dan sedikit absurd sih mas. Pertama, kita nggak berencana buat album penuh. Jadi rencana kita cuma mau bikin 3-4 lagu buat rilis EP dulu aja. Tetapi karena pas waktu itu banyak waktu luang akhirnya terkumpul banyak materi, Mas. Dan, nggak terasa ada 8 materi. Akhirnya kita memutuskan menyelesaikan 8 materi itu buat dibikin album penuh. Waktu proses workshop ada tambahan 4 track materi baru lagi. Jadi total ada 12 materi. Tetapi setelah dipilih-pilih yang kita rilis cuma 10 track yg sekarang ini ada di album Makin Berantakan.
Kemudian kenapa kita memproduksi sendiri. Alasan utamanya biar lebih hemat secara pengeluaran aja sih, Mas. Jadi karena kebanyakan dari kita juga masih mahasiswa dan belum banyak duit ya. Hehehehe. Akhirnya kita memutuskan buat rekaman sendiri semua, termasuk proses pascaproduksinya. Kita semua sama-sama belajar bareng buat cara bikin album sendiri. Asyik sih mas jadinya. Kita semua jadi enjoy gitu mengerjakannya. Jadi bahan belajar praktik bareng bagimana cara memproduksi musik dari awal sampai perilisan. Kita banyak belajar di album ini. Jadi secara keseluruhan kita semua puas sama hasilnya. Selain bisa eksplorasi secara bebas, kita juga jadi paham sedikit soal teknis-teknis rekaman gara-gara album pertama ini, Mas.
Album Makin Berantakan ini keren menurut saya pribadi. Mulai dari track pertama Full of Fool sampai Cita-cita di Dalam Troli, hingga Terbunuh Mati Menjadi Mimpi. Berapa lama proses penggarapan materi-materi yang ada di album ini?
Penggarapan materi kurang lebih kalau ditotal ada setahun prosesnya, Mas. Mulainya dari awal tahun 2023. Kita udah nyicil-nyicil bikin materi gitu, Mas.
Siapa yang biasanya membuat lirik?
Dalam album Makin Berantakan ini pembuatan liriknya bareng bareng, Mas. Dari total sepuluh lagu, Jibran menulis empat materi: Seminggu Penuh Peluh, Bicycle Boy, Seluler Kita, dan cita-cita di dalam troli. Lalu tiga materi ditulis oleh Rehan: Makin Berantakan, Curi-Curi, dan Empty.
Dua materi lagi ditulis oleh Yunior Bagas ex-bassis kami, yaitu Full of Fool, dan Could You Please Just. Karena kami sepakat untuk senang-senang aja di sini, Mas. Jadi siapa pun yang punya keresahan, akhirnya ditulis bersama-sama. Kami masak menjadi sebuah materi lagu, Mas.
Secara keseluruhan kalian pengen menyampaikan pesan apa lewat album ini?
Untuk pesan sendiri pada album ini sebetulnya per materi punya narasi yang berbeda-beda. Karena memang lirik dan pengumpulan materi yang cenderung random jadi narasinya agak nyampur. Mungkin dari mulai keresahan-keresahan seputar pemikiran anak muda, pekerjaan, hiruk pikuk kota, sampai ke masalah sosial. Tetapi secara benang merah, album ini adalah bentuk proses kami dalam meramu sebuah musik, di mana kami mencoba melawan beberapa keterbatasan kami dalam proses meramu itu. Dan album ini adalah hasil dari proses perlawanan kami atas keterbatasan itu sendiri.
Apakah ada rencana untuk tour promo album? Jika iya, kira-kira kalian pengin mampir ke mana?
Jelas ada, Mas. Hehehe. Pengin banget kami tour di Jawa Tengah, melenggang ke beberapa kota tetangga, atau minimalnya kita mau banget tour Solo Raya dulu, deh. Mungkin dari setiap penjuru Kota Solo, Sukoharjo, Karanganyar, Klaten, Jogja. Sehabis itu mungkin lanjut untuk antarkota di Pulau Jawa. Keinginan itu saat ini sedang kami tabung sampai ada kesempatan yang akan membawa kami ke sana.
Oh ya, ini sering saya tanyakan ke teman-teman ketika interview. Dari sudut pandang teman-teman The Rubanah bagaimana ekosistem musik di Kota Solo hari ini?
Kami melihat berbagai macam gerakan dari berbagai macam kolektif yang berbeda. Hal itu menciptakan ekosistem yang bagus. Serunya mungkin hari ini pergerakan teman-teman di Kota Solo sedang terlihat gencar dan ramai. Sampai-sampai mungkin gigs atau wadah untuk berkaryanya pun cukup beragam dan bahkan relatif ramai. Dari sisi kami, melihat ini sebagai hal yang memantik gairah membuat karya lebih bagus ke depannya. Semoga Solo dan kota-kota di sekitarnya bisa menjadi base untuk ekosistem musik lokal yang dapat diterima ke khalayak yg lebih luas.
Dalam pengalaman Ilham, ekosistem musik di Solo cukup suportif dengan saling menghargai karya antara satu kelompok dengan kelompok lain. Jadinya, muncul regenerasi musisi dan karya secara terus-menerus seiring waktu. Masing-masing kelompok, baik itu kolektif musik maupun kolektif event, mereka gak segan-segan menawarkan band pendatang baru buat join di project-an mereka. Dari situlah ekosistem berkembang dan menyebar. Mulai dari ranah lokal sampai ke ranah di luar Solo (nasional). Selain itu, ekosistem musik di Solo juga ramah untuk hal-hal yang tergolong eksperimental. Misal kita bikin sesuatu nih, awalnya cuma main-main. Eh, ternyata responnya malah gak main-main. Kayanya Solo ini emang salah satu kota budaya yang beneran respect sama hal-hal berbau kebudayaan deh. Itu juga sekaligus jadi salah satu alasanku yang notabene anak rantau lebih suka di Solo. Wkwkwk.
3 band lokal rekomendasi kalian untuk pembaca? Dan kenapa memilih band tersebut.
3 band lokal ya? Emm, kalau untuk pilihan 3 band lokal.
Jibran: bisa kasih The Rang-Rangs, Swellow, sama kalo dari teman-teman di Solo, The Skit, sih.
Rehan: aku kasih rekomendasi The Kuda, Majelis Lidah Berduri, dan kalau dari Solo, Barmy Blokes kali, yee.
Iqbal: tiga rekomendasi band lokal. Ah, apa ya, aku bingung mas. Emm, Rrag, Barmy Blokes, sama The Yonos.
Ilham: tiga rekomendasi band lokal dari aku, Syirian, Rrag. Kalau lokal Solo, aku suka musiknya Breez. Kalau boleh bonus, The Skit, asyik banget, tuh. Hehehe.
Iyan: kalau aku akhir-akhir ini lagi dengerin The Cottons, Rrag, dan Starducc, sama Breez juga asik banget.
Seberapa besar pengaruh The Clash untuk kalian?
Sebetulnya kalau secara spesifik The Clash, jujur kami tidak begitu banyak terpengaruh, Mas. Wkwkwk. Tetapi mungkin kalau bilang musik punk 70-an di era The Clash, kami sangat terpengaruh: mungkin Ramones, Sex Pistols, Misfits, The Muffs, Circle Jerks, baru The Clash. Kita memang menjadikan band-band itu sebagai referensi dalam pembuatan musik The Rubanah. Ciri 3-4 chord dan chorus yang repetitif, terkesan melodis, kami gunakan sebagai formula pembuatan album Makin Berantakan.
Terakhir, mungkin ada yang ingin disampaikan untuk teman-teman?
Untuk teman-teman semua, salam kenal. Tetap support band-band lokal Solo Raya dan segala macam turunannya ya! Biar makin asyik kota tercinta kita ini. Sama satu lagi, semoga album kami dapat diterima dan menjadi sarana silaturahmi sekaligus medium saling mengenal ke depannya, ya. O iya, terima kasih juga buat Mas Dian yang sudah menyempatkan waktu buat menanyakan kabar kami. Dan, terima kasih pula atas apresiasi yang dialamatkan kepada album pertama kami. Sehat selalu, Gais!
Connection:
The Rubanah
Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia
*interview ini sebelumnya tayang dalam Leluasa Zine #7 yang dirilis Desember 2024.
Interviewer: A. Dian
Editor: Rudi Agus Hartanto
Posting Komentar untuk "The Rubanah: Melawan Keterbatasan"
Posting Komentar