Kendara: Kehadiran Tanda Tanya

 

Gambar diolah oleh A.

Saat berkendara sendiri, sepakat atau sebaliknya, merupakan waktu yang paling tepat mengenal diri sendiri. Mutlak tak ada pengganggu, kecuali bertemu pengendara sebarang. Artinya, hari yang suntuk telah terlewati. Meski keesokan harinya, kesuntukan itu akan kembali ditemui. Sensitrick menjelaskan lewat Selebrasi Kekalahan (2025) dengan membebaskan pendengarnya memilih kapan dan di mana hal itu dilakukan.

Selebrasi diri di tengah tarik-ulur gas dan rem. Menandai kebebasan penuh terbatas kilometer belaka. Siapa kerap membayangkan dirinya bebas menjadi ini-itu selama berkendara? Atau, penyesalan karena telah memutuskan sesuatu? Barangkali tak berhentinya kendaraan selama mengaspal, ialah ketetapan tentang diri yang sama sekali tak terpikir di waktu lain.

Tak dapat dimungkiri, berkendara serupa membaca dalam sekali kedip ketika berhadapan dengan cerpen koran. Sastra yang terbatas pada 800-1200 kata. Selayaknya mendengar lagu berdurasi empat sampai lima menit. Tidak untuk karya-karya Dream Theater. Hubungan dialektis bersama diri sendiri rutin berlangsung sesingkat itu. Lalu, di manakah sandaran berkala yang dapat digunakan?

Hanya saat berada di jalan. Tanpa dilebihkan. Di situlah jeda atas hidup yang sempat kita berikan. Karena melukat bukanlah aktivitas untuk para pekerja. Begitupula bagi sivitas akademik. Dua peringatan hari besar di bulan Mei yang diperuntukkan bagi mereka, bersisa untuk menyampaikan keluh-kesah serta catatan yang tak berpihak semata. Bebarengan dengan polusi knalpot, memikirkan diri barulah hadir. Kesempatan yang dihadirkan. Bukan kata-kata utopia kesempatan hanya datang satu kali. Tidak. Itulah, maksud pendek tapa ing ngrame.

Jalan bergelombang, berlubang, penuh tumpahan solar, hingga sebaran pasir menjelma sebagai medium mendalami diri sendiri. Belum ditambah, tekanan atas keberadaan klitih. Semua itu mengambil peran krusial. Inilah saat yang laras melakukan selebrasi kekalahan. Begitu, Sensitrick? Nominasi kalah tanding tawa kian lengking.

***

Ketika berkendara, kadang-kadang, perut terasa lapar. Perasaan akan hal tersebut, dilakukan Baro’ah Charlie Putri dengan Menelusuri Jejak Budaya dalam Semangkuk Selat Solo (14/05). Putri tak sekadar menikmati kudapan tinggalan masa kolonial itu. Tetapi, berkisah pertemuannya dengan selat hingga hubungannya dengan budaya Kota Solo.

Ia sangat optimis dengan selat untuk menduniakan Kota Solo. Kita tentu tahu mengenai diplomasi makanan. Di masa Sukarno, pernah terbit buku Mustika Rasa (1967). Buku yang diharapkan membawa resep makanan Indonesia menuju dunia Internasional. Putri, berkat penasarannya akan dunia kuliner, barangkali dapat turut terlibat peran tersebut. Sebab, kita tidak bisa melakukan simplifikasi soal lidah. Karena, di situlah kerumitan kadang terjawab atau justru makin tak terselesaikan.

Selain kudapan, kita juga terbiasa dengan kopi. Dari pinggir jalan Slamet Riyadi, Kota Solo, Aisyah Dinda Wibowo, mengamati situasi yang ia temui. Ia mendeskripsikan penampilan anak skena yang nongkrong di kafe, lagu, dan juga bagaimana coffee late meruangi itu semua.

Dalam tulisan Coffee Latte, Hoodie Hitam dan Lirik Lagu Bertemu di Jalan Slamet Riyadi (18/05), Wibowo membicarakan identitas. Meski tak begitu mendalam ejawantah yang diungkapkannya, terlihat dugaan-dugaan yang disampaikan olehnya berkait identitas anak skena. Seperti, rasa dan harga diri, sebagai penghargaan atas diri sendiri. Itulah pengamatan mula yang menarik apabila dikembangkan sebagai kajian budaya populer Kota Solo.

Bila kajian itu dilakukan, maka keterkaitan dugaan Wibowo akan berkembang pada temuan wacana, praktik, atau entitas muda-mudi Kota Solo. Posisi Wibowo sebagai mahasiswa, memungkinkan agar temuan dapat terdeskripsikan dengan baik. Mengingat frasa “anak skena” telah menjadi bahasa yang mudah sekali ditemui untuk melabeli orang-orang tertantu. Dengan menyesap latte, Wibowo dapat menuliskannya lebih mendetail dan panjang.

Beberapa tulisan yang rilis di Leluasa bulan Mei 2025, adalah garapan mahasiswa Program Studi Ekonomi Pembangunan, Universitas Sebelas Maret. Tulisan-tulisan yang mereka garap, menyoal amatan atas kondisi sosio-kultural di sekitarnya—realitas maupun karya seni. Bacaan hangat yang dapat dinikmati pembaca sekalian dalam sekali duduk. Lebih-lebih, mampu memberi perspektif terkait pandangan yang berasal dari kampus.

***

Hari-hari di bulan Mei 2025 cukup menantang. Hujan sesekali masih turun, sesekali panas sangat ngenthang-ngenthang. Tetapi, kondisi demikian bukan penghalang bagi para pengendara yang sedang atau pulang memerjuangkan hajat hidup. Segala cuaca mesti diterabas demi dapur tetap terjaga situasinya.

Blar! Pernah dirilis kugiran thrash metal asal Karanganyar, Bankeray—kini hiatus. Lagu yang seolah mengajak orang yang beraktivitas di jalanan enggan menyerah. Gambaran itu mengindikasikan bahwa jalanan lekat dengan keringat, perjuangan, hingga perasaan utuh berkait kehidupan. Tempat di mana negosiasi dan lobi tak memiliki kekuatan penuh. Satu-satunya yang berlaku adalah kebertahanan.

Orang yang berangkat menjalani hidup dari nol, bahkan minus, tentu sudah terbiasa dengan bertahan. Saat di mana ia memendam segala persoalan sendiri, sebab merasa orang lain juga memiliki masalah serupa. Hanya dalam lembaran aspal semua itu berpangkal. Satu demi satu. Atau, dalam kesekaligusan. Masalah: selamat datang!

Jika di muka berkait dengan mengenal diri sendiri, maka hal itu bertautan langsung terhadap kebertahanan. Berkendara adalah reinterpretasi kukuh segala macam persoalan. Tanpa saksi, tanpa suara. Begitulah, apabila peristiwa berkendara diejawantah dalam bentuk narasi. Mungkin gersang, bisa jadi perubahan.

Che Guevara pernah berkeliling Amerika Selatan menggunakan motor. Ia menarik persoalan yang diamatinya ke dalam dirinya menjadi pengertian besar. Dan, pada saat itulah ia merasa mengenali diri sendiri: untuk apa hidupnya? Bagaimana menjalaninya? Kita tahu, sebesar apa kisah Che hari ini di pelbagai perbincangan.

Pada akhirnya Che selalu lekat dengan perjuangan. Pengabdiannya kepada umat manusia tak terbantahkan. Sampai hari ini, belum ada narasi yang mengatakan Che membangun sesuatu kemudian ia namai sesuatu itu dengan dirinya sendiri. Apa yang ia lakukan, lesap dengan amatannya, seperti asap cerutu, yang ia embuskan ke udara. Bebas dan menyatu.

Karena berkendara, kesempatan bertanya itu datang. Kesendirian yang kadang dibutuhkan oleh kita. Sekadar mempertanyakan apakah kita masih menjadi manusia atau mesin. Di mana zaman sedang sibuk membicarakan topik terkait, yang sesekali menyakiti, sesekali menyebalkan. Namun, dengan sadar, kita ikhlas berada di dalamnya. Meski bukan siapa-siapa.

Penulis: Rudi Agus Hartanto

Posting Komentar untuk "Kendara: Kehadiran Tanda Tanya"