Sita: Memerangkap Medan Pengetahuan

 

Gambar diolah oleh A.

Mengapa ada yang menganggap buku adalah benda berbahaya? Sementara, di sekolah, bapak dan ibu guru berjibaku memberitahu siswa untuk mengetahui dunia, mereka mesti membaca. Bahkan perintah teologi pun meminta agar setiap umat membaca. Dari pengertian singkat itu, membaca sungguhlah penting. Di situlah peran buku dalam memberi pemahaman kepada kita mengenai semesta dan seisinya.

“Tapi, kan, membaca, tidak selamanya dari buku,” potong seseorang yang sangat gaul di sebuah kabupaten. “Bisa membaca manusia, kondisi sosial, situasi ekonomi, dan sebagainya,” lanjutnya sembari menyesap secangkir kopi.

“Iya, begitu juga boleh.” Seorang lainnya, pembaca buku ulung, yang mulanya sangat antusias berbagi bacaannya memberi balasan dengan tatapan aneh.

Hari-hari di bulan September 2025 ramai pembicaraan tentang buku. Ada yang merekomendasikan buku bacaan: fiksi atau nonfiksi, ada pula yang menyita buku. Terkait penyitaan buku, yang menarik adalah buku seolah-olah barang berbahaya. Dan, yang terjadi justru sebaliknya. Orang-orang tertarik membaca karena penyitaan buku, apakah penyitaan buku termasuk kampanye agar setiap orang dekat dengan buku?

Tentu, pertanyaan itu tidaklah tepat, meski kenyataan mengatakan bahwa ramai orang-orang penasaran atas isi sebuah buku. Memang anomali, seharusnya ketika buku disita, orang menjauhi buku, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Berarti, buku benar-benar mengambil peran bagi kita sekalian untuk mengetahui dunia. Perihal bagaimana dunia bekerja, pengetahuan terproduksi, hingga distribusi pengetahuan terjadi.

Khalayak makin penasaran. Program sadar literasi berjalan begitu saja tanpa perlu anggaran besar. Cukup dengan berita beberapa buku disita, setiap orang malah tertarik atas buku. Model kampanye yang barangkali jarang terpikir oleh teman-teman penggerak literasi. Terima kasih, buku semakin dekat ke siapa pun. Dengan begitu, imaji akan sesuatu (baca: kehidupan) yang lebih baik terjadi.

Berkat buku, kita belajar sesuatu yang terjadi di sekitar kita. Bahkan, mengapa di negeri selatan ini, buku seolah-olah adalah barang berbahaya, tercatat di dalam buku. Pernah di satu masa, buku dilarang beredar, buku dibakar, karena dianggap membahayakan. Mungkin harapan setiap pembaca buku, zaman itu jangan sampai terulang. Namun, tak sedikit pembelajar sejarah mengatakan bahwa sejarah itu berulang—bentuk sama atau bentuk lain.

“Na'udzu billahi min dzalik,” ujar salah seorang teman yang dekat dengan buku-buku religi.

“Jangan sampai terjadi lagi!” sahut seorang yang bahagia berbuku apa pun alirannya.

Meski begitu, hendak bagaimana lagi? Semua terlanjur terjadi. Mungkin kita bisa meminjam adegan petani di Solo Raya ketika rasa kecewa dan terkejut terjadi dalam kesekaligusan: Ngelus dhadha. Begitulah, sikap sederhana, tetapi sangat dalam pengertiannya. Pembelajaran yang lahir dari lingkungan tanah. Ruang hidup yang selalu mengalah dalam pelbagai situasi.

Apabila kita membuka data, negara-negara maju masyarakatnya dekat dengan buku. Di Jepang, orang-orang membaca tidak hanya ketika bersekolah, tetapi juga saat berangkat-pulang kerja. Tempat yang digunakan pun beragam: kereta, taman, kursi pedestrian. Bayangkan jika hal itu terjadi di sekitar kita. Menarik bukan?

Tak ada lagi guyonan sinis orang yang membaca buku pasti menggunakan bahasa yang tak terjangkau, atau: “aku tidak mampu mengikuti pembicaraanmu, terlalu tinggi.” Kita akan sibuk berdiskusi atau berdebat bagaimana jalannya hidup ini berubah semakin baik. Dengan kebudayaan yang terbangun atas nama pengetahuan, bukan ketakutan.

“Apakah mungkin hal itu terjadi?” tanya bakul hik, ketika mendengar pelanggannya membaca paragraf di atas dengan suara keras.

“Kula nggih mboten ngertos, Pak,” jawab pelanggan itu.


September memang bulan penuh peringatan. Kita mesti merasa beruntung buku-buku telah mencatatnya dengan baik. Sebab, ingatan hanya akan kita bawa hingga kematian datang. Setelahnya, tak ada yang bisa kita sampaikan sebab berada di dalam tanah. Catatan selalu membawa berkah di masa mendatang. Pengetahuan.

Lewat pembicaraan, kita tahu sebagian kecil persoalan. Melalui buku, persoalan disingkap, dedah, dan terjelaskan baik. Peradaban kita dibangun dari lembar per lembar itu. Termasuk berbagai pergulatan yang terjadi di dunia ini. Ilmu alam, ilmu sosial, maupun ilmu kemanusiaan adalah rentetan yang saling tarik-menarik dalam membentuk kehidupan kita ini.

Karenanya, kalau ada berita penyitaan buku, merupakan kabar yang barangkali sudah tidak terdengar aneh lagi di negeri selatan ini, tetapi *sebagian teks hilang.... Serta, pertanyaan mengenai sampai kapan hal ini terjadi, mungkin akan menjadi pertanyaan yang terus berulang. Penasaran yang dipupuk rasa haus pengetahuan sekaligus sebagai bentuk pertahanan. Membaca mesti membutuhkan ruang aman. Tidak seperti di negeri-negeri yang menempatkan buku sebagai acuan kemajuan.

Saat di mana pun tempat orang dapat membaca buku, mencari pengetahuan yang ia minati sekaligus ingin membuktikannya. Namun, apakah hal itu muskil jika kita bayangkan terjadi di sekitar kita? Sepertinya pertanyaan ini belum tepat diajukan sekarang.

Pada akhirnya apa yang terus kita pertanyakan mengenai buku, berkait dengan waktu, serta tidak berikat dengan tindakan kejahatan atau pelarangan. Andai saja hal itu terjadi, mungkin negeri kita sudah merangkak menuju kemajuan lebih jauh lagi. Sebagaimana negeri-negeri besar dan tangguh dari masa lalu atau masa kini yang rutin kita bicarakan itu.

Utang yang kita bayar dari setiap peradaban ialah mencatatnya. Generasi berikutnya yang membicarakan serta mengonsepsi kembali apa yang disebut status quo. Begitulah yang semestinya terjadi. Membawa kabar dari zaman yang tidak pernah kita hidup di masanya atau zaman yang akan kita hidupi mendatang.

Jika saling terhubung, maka “sita” akan berasosiasi dengan nama-nama yang lekat hadir di sekitar kita sebagai sesosok yang putih bersih. Alih-alih “sita” yang kita dengar serupa kejahatan. Apalagi, berkait dengan buku. Seharusnya buku adalah sesuatu yang manis di hadapan kita, tidak perlu melihatnya dengan tatapan sinis.


Posting Komentar untuk "Sita: Memerangkap Medan Pengetahuan"