Akumulasi: Mulanya adalah Bisik-Bisik

Gambar diolah oleh A.

“Asap. Api. Sirine. Seruan. Persekusi. Pembelaan. Darah. Tangis. Lindas. Pink. Hijau. Terbakar. Perintah. Warga. Jaga. Tuntutan. Kalah.” – Kata kunci media sosial di Indonesia periode Agustus 2025.

Sebagian besar masyarakat Indonesia menutup bulan kemerdekaan dengan membicarakan persoalan bangsanya. Kondisi ini rumit. Benar-benar rumit. Orang bijak mengatakan setiap masalah dapat diselesaikan dengan dialog. Namun, bagaimana bila adanya dialog selalu berujung buntu, tak selesai, dan selalu menyudutkan pihak yang semestinya mendapat sesuatu yang seharusnya?

Pihak yang dimaksud adalah khalayak. Subjek yang melintas begitu saja dalam pembicaraan sejarah. Sebab, dari itu semua tak ada tokoh, sosok, maupun satu pahlawan teridentifikasi, melainkan akumulasi dari kelindan suara yang samar. Ketika institusi tertentu mencari siapa “dalang”-nya, maka tak mudah menemukannya, karena sekali lagi, hal ini berhubungan dengan suara. Biasanya bila sudah begitu, pangkal dari semuanya hanyalah satu: pengabaian.

Hidup di antara kesamaran suara yang meringkih, jeritan terpendam, hingga penerimaan yang bergolak sesungguhnya adalah kita. Pada waktu-waktu ini sulit menemukan pihak yang mestinya mengerti sekaligus mengatasi persoalan itu. Seberapa mahal cum kapan pengertian dapat menjadi satu hal di mana itu sebagai bagian utuh keberlangsungan hidup kita?

Luka, bahkan hingga nyawa sudah berulang kali menjadi tenggat yang sama sekali serupa monumen belaka. Pembelajaran yang hanya ditangkap oleh kita—saja. Di tempat yang seharusnya memberi kita ketenteraman, justru data-data yang ada tak menghasilkan respons yang menenangkan. Ancaman. Sinisme. Arogan. Dan, yang paling parah adalah menganggap kita bodoh dan tak mengerti masalah sama sekali.

Menukil pembuka Doa 1 (2015) garapan Silampukau: Duh Gusti..., mengapa bisa begini? Atau, yang paling menyentuh adalah “begini” dalam pertanyaan itu disangkutkan dengan komentar warganet berkait kewarganegaraan. Pertanyaan yang dalam kadar tertentu cenderung dianggap guyonan semata, namun di tingkatan lain adalah kesungguhan. Jika memang sulit untuk disebut satir atau anekdot, setidaknya pertanyaan tersebut mudah dijumpai di pinggiran.

Lagi-lagi, itu adalah akumulasi dari pengabaian yang terjadi selama ini. Meskipun dianggap angin lalu belaka, kita menemuinya di pelbagai tempat, sudut, bahkan transaksi di pasar. Jika suara yang membesar dianggap ancaman, yang terjadi dari semua itu awalnya hanyalah bisik-bisik yang tersambung dari satu titik ke titik lain. Sambat kolektif, mungkin begitu lebih tepatnya.

Jalanan riuh. Tempat kita berangkat belajar atau bekerja, berubah perih karena barang yang tak kita kenal. Di rumah tak ada, di kantor tak ada, di pabrik tak ada, di ruang kelas tak ada, di pasar tak ada, dan di perpustakaan tak ada. Begitulah, karena tak ada, dan tiba-tiba di hadapan kita, apa yang kita jalani sehari-hari dengan tenang, tiba-tiba seperti sedang dalam ancaman.

Tiba-tiba nomor asing datang mengontak. Entah dari mana nomor asing itu mendapat kontak kita. Padahal, di gigs, festival, pasar malam, perpustakaan, kedai kopi, dan di mana pun tak pernah ada orang yang tak dikenal meminta kontak kita. Duh Gusti..., mengapa bisa begini.

Guru Alfonso, ketika menjelaskan kepada murid-muridnya lewat cerpen Pelajaran Sejarah, turut memberi pelajaran kepada kita bahwa sesungguhnya kita adalah bagian dari sejarah yang utuh. Bila memang sulit menemukan orang yang mencatatnya, kita bisa memelajarinya dari lingkungan, saksi, atau bahkan tempat di sekitar kita.

Sekalipun mungkin dari proses metodologi keliru atau kurang tepat, setidaknya kita telah berupaya mencatat suara yang samar itu. Suara yang yang sesungguhnya mengikat kita dalam satu perasaan dan pengertian yang sama. Tentang hidup, persoalan yang kita alami, hingga catatan yang memberi ruang kepada sejarah mengenai kita.

Shindunata, lewat Ratu Adil (2024) memberi ruang itu secara terbuka sebagai contoh. Mengenai khalayak yang nihil catatan, dokumentasi, hingga pembicaraan. Pepatah di zaman sekolah “sedikit demi sedikit menjadi bukit” mesti kita modifikasi bukan lagi berikat dengan aktivitas menabung saja. Kita dapat memberi makna lain bahwa sedikit ingatan yang kita rawat jika dipertemukan antara satu sama lain dapat menjadi suara yang berarti bagi sejarah.

“Tenan?” Di tongkrongan salah satu orang ingin memastikan.

“Satu-satunya cara hanya begitu.” Sahut yang lainnya kemudian. Situasi berubah menjadi sangat serius.

Hidup memang begitu indah, hanya itu yang kita punya, jelas The Jeblogs kepada kita. Benar, hanya itu yang kita punya, sekalipun bentuknya hanya nyeteti burung perkutut yang kita pelihara. Kebahagiaan yang hadir dengan cara paling dekat dari kita semua. Kita upayakan. Kita, oleh orang tua, tak pernah diajari untuk memukul atau menyiksa orang. Bahkan, Ibu selalu berpesan: aja lali maem sik.

Sekalipun, dulu, ketika kita menikmati kudapan itu dengan gerundel, senyatanya ketika semakin bertambah usia justru memberi kita pendidikan yang baik mengenai pengertian sesama manusia. Kepedulian yang hari ini hanya kita miliki satu sama lain dalam bentuk kultural, sulit untuk mengatakan berbentuk struktural.

Saling pandang dan berbicara atas kondisi teman, tetangga, hingga sesama rasanya hari ini sangatlah penting. Dulu, Seno Gumira Ajidarma pernah memberi pelajaran kepada kita lewat Pelajaran Mengarang (1993). Jika mengarang adalah pelajaran yang membutuhkan waktu, maka kita bisa memulainya dengan belajar mencatat. Satu kalimat setiap hari mengenai situasi hari itu, bisa masalah personal, sosial, maupun lainnya.

Konon, kata Homicide, lewat Barisan Nisan (2004), kemungkinan  terbesar adalah memperbesar kemungkinan. Entah apa jadinya nanti, yang ada hanyalah kita, satu sama lain. Tak terkecuali. Lewat catatan itu.


Posting Komentar untuk "Akumulasi: Mulanya adalah Bisik-Bisik"