Mengurai Paradoks Politik Pengakuan Palestina
![]() |
| Bendera Palestina |
Isu
pengakuan Palestina sering digambarkan sebagai persoalan moral dan kemanusiaan.
Tapi mari jujur, bahwa politik internasional jarang sekali murni soal moral.
Data penelitian yang saya lakukan justru membuka kenyataan pahit, bahwa
solidaritas hanya jadi slogan, sementara keputusan negara sering ditentukan
oleh kepentingan ekonomi, aliansi strategis, bahkan “aturan tak tertulis”
yang diwariskan oleh kekuatan besar dunia. Dan di balik itu semua, ada pola
yang terlalu konsisten untuk disebut kebetulan.
Aliansi
Global adalah Jejak Kekuatan Tersembunyi
Coba
kita perhatikan aliansi internasional. BRICS, Liga Arab,
dan NAM nyaris kompak mengakui Palestina.
Sebaliknya, NATO
dan G7 menutup rapat pintu pengakuan.
Apakah ini sekadar perbedaan pandangan? Atau tanda bahwa blok Barat punya
kontrak tak terlihat dengan Israel?
Afiliasi
aliansi benar-benar memengaruhi sikap pengakuan. Ini artinya, ada “script
global” yang dimainkan, di mana aliansi bukan hanya kumpulan negara,
melainkan alat hegemonik untuk mempertahankan narasi tertentu. Palestina, dalam
hal ini, hanyalah pion di papan catur kekuasaan.
Geografi
Solidaritas yang mengartikan Dekat Peduli, Jauh Abai
Dari
peta, jelas terlihat pola, bahwa Afrika, Asia, dan Amerika Latin lebih banyak
mengakui Palestina, sementara Eropa dan Oseania dingin dan cenderung menolak. Uji Moran’s I yang telah saya lakukan menegaskan ini bukan acak. Solidaritas bergerak dalam kluster regional.
Tapi
pertanyaan yang bisa kita pikirkan adalah apakah ini soal kedekatan geografis
dengan konflik, atau ada faktor lain? Mengapa Eropa yang secara historis punya
utang moral besar akibat kolonialisme dan Holocaust malah memilih berpihak pada status quo? Jangan-jangan “utang sejarah”
itulah yang membuat mereka terlalu dekat dengan Israel untuk berani mengakui
Palestina.
Kaya
Menolak, Miskin Mendukung
Adapun
hasil regresi logistik yang telah saya lakukan memperlihatkan sesuatu yang
ironis, bahwa semakin kaya suatu negara (GDP tinggi), semakin kecil kemungkinan
ia mengakui Palestina. Negara miskin justru lebih vokal mendukung Palestina.
Apakah
ini berarti kekayaan membuat negara kehilangan nurani? Atau sebaliknya, negara kaya
terikat pada jaringan kepentingan finansial global, yaitu mulai dari
perdagangan senjata, akses teknologi, hingga lobi politik yang membuat mereka
tak bisa seenaknya menentang Israel? Kalau mengikuti logika teori dependensi,
negara kaya sebenarnya juga “tergantung” pada sistem global yang mereka
sendiri ciptakan.[1]
Sehingga dari hal ini penolakan Palestina bisa jadi bukan pilihan bebas,
melainkan bagian dari kontrak geopolitik yang menjaga stabilitas kekuasaan
ekonomi global.
Hubungan
dengan Israel adalah Benang Merah yang Tidak Terputus
Dari
142 negara yang punya hubungan resmi dengan Israel, mayoritas tetap mengakui
Palestina. Namun ada 29 negara yang tidak. Mengapa mereka berbeda?
Jawabannya
mungkin terletak pada level kepentingan strategis. Negara yang “cukup dekat”
dengan Israel tetapi tidak terlalu tergantung, masih bisa menyeimbangkan sikap.
Tapi bagi negara yang benar-benar terkunci dalam orbit Israel dan sekutunya,
pengakuan Palestina bisa dianggap ancaman.
Inilah
benang merah yang jarang diungkap, bahwa hubungan dengan Israel tidak hanya
bilateral, tapi bagian dari arsitektur global yang melibatkan intelijen,
ekonomi, bahkan keamanan militer internasional. Ada lapisan-lapisan pengaruh
yang membuat Palestina seperti terjebak dalam labirin geopolitik.
Implikasi
bagi Indonesia pada Peluang di Tengah Paradoks
Bagi
Indonesia, temuan ini bukan sekadar catatan akademik. Posisi Indonesia unik,
bukan sekutu dekat Israel, punya kedekatan historis dengan Palestina, dan
menjadi pemimpin di ASEAN
maupun NAM. Artinya, Indonesia bisa memainkan
peran sebagai “pengganggu narasi” dominan Barat.
Strategi
ke depan jelas. bahwa jangan berharap banyak dari NATO dan G7, tapi perkuat
blok dukungan di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Yang lebih penting, Indonesia
bisa menggunakan paradoks ini untuk membangun citra, bahwa di tengah negara
kaya yang pragmatis, negara berkembanglah yang masih punya nurani. Dengan begitu,
Indonesia bukan hanya sekadar pendukung Palestina, tapi juga simbol perlawanan
terhadap hegemoni geopolitik global.
Palestina
dan Wajah Asli Dunia
Adapun
kajian yang saya lakukan bahwa pengakuan Palestina tidak pernah murni soal
moralitas. Ia adalah cermin dari wajah asli dunia yang penuh paradoks,
kepentingan, dan hipokrisi.
Negara
kaya berbicara tentang demokrasi tapi menolak hak Palestina. Negara miskin,
yang sering dipandang lemah, justru berani bersuara. Aliansi internasional yang
katanya dibangun untuk perdamaian ternyata lebih peduli pada stabilitas
kepentingan daripada keadilan.
Jika
ada yang masih percaya bahwa politik global digerakkan oleh nilai kemanusiaan,
data ini cukup untuk meruntuhkan ilusi itu. Dan mungkin, di balik semua ini,
ada sesuatu yang lebih besar, bahwa sistem dunia yang sejak awal memang
dirancang agar Palestina tidak pernah benar-benar merdeka.
[1] Tony Smith, “The underdevelopment of development literature: the case of dependency theory,” World Politics 31, no. 2 (1979): 247–88.
Daftar
Pustaka
Smith, Tony. “The underdevelopment
of development literature: the case of dependency theory.” World Politics
31, no. 2 (1979): 247–88.
Penulis: Ruben Cornelius Siagian, seorang penulis,
peneliti, dan aktivis muda asal Medan, Sumatera Utara, dengan latar belakang
akademik di bidang Fisika Komputasi dan Teoritis. Ia aktif menulis opini kritis
mengenai isu-isu politik, sosial, dan akademik di berbagai media nasional
maupun lokal, sekaligus konsisten mengembangkan riset multidisiplin dalam
fisika, astronomi, nuklir, hingga geologi.
Di samping kiprah akademiknya,
Ruben juga memiliki rekam jejak panjang dalam organisasi kemahasiswaan dan
gerakan sipil, mulai dari kepemimpinan di Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia
(GMKI) hingga kiprahnya di DPD GAMKI Sumatera Utara. Ia mendirikan Riset Center
Cendekiawan dan Peneliti Muda Indonesia sebagai wadah kolaborasi bagi
mahasiswa, dosen muda, dan peneliti lintas bidang.
Dengan kombinasi peran sebagai
penulis, peneliti, dan aktivis, Ruben menegaskan komitmennya untuk mengawal
demokrasi, mengembangkan ilmu pengetahuan, serta menyuarakan kepentingan publik
melalui kerja intelektual dan sosial yang berkesinambungan.

Posting Komentar untuk "Mengurai Paradoks Politik Pengakuan Palestina "
Posting Komentar