Iklim Menggila, Deep dan Social Ecology Jalannya!
![]() |
| Gambar diolah oleh A. |
Sebagai orang yang gemar untuk keluar dari kediaman demi segelas kopi, belakangan ini hal tersebut terhambat. Hujan tak pernah kunjung reda dengan cepat, bahkan hingga seharian penuh. Setiap air yang terjatuh seperti memberi pesan, bahwa alam sudah tak lagi merasa nyaman dengan keadaannya sekarang. Apalagi pada penghujung tahun ini. Alam tak lagi berada pada batas kesabarannya. Iklim berubah-ubah, seakan enggan untuk berkomunikasi dengan manusia. Terlihat jelas, alam muak dengan semua yang terjadi padanya, luka yang telah lama tergoreskan ini membesar. Tak ada lagi toleransi, kemurkaannya tertuang habis pada hujan yang tak kunjung berhenti hingga panas matahari di tengah waktu makan siang. Rasa-rasanya ini adalah balasan ketika tanah subur berubah menjadi bangunan estetik dan pembanguan berkelanjutan yang mengatasnamakan modernisasi maupun kemajuan. Tak sampai di sana saja, fauna-fauna tak lagi bisa menikmati hidupnya seperti sediakala. Tak heran banyak hewan bebas yang masuk dalam pemukiman warga atau komplek-komplek mewah itu. Satu yang dapat disalahkan dari semua ini adalah manusia, manusia dengan segala kekuasaannya yang jauh dari toleransi akan alam. Kita cenderung melihat bangunan mewah di kota, bahkan pabrik-pabrik besar nan megah di dekat-dekat desa. Tanpa disadari hal tersebut menyisihkan derita kelak pada masa yang akan datang nantinya.
Nyatanya banyak sekali deforestasi, kehilangan tutupan hutan, abrasi, kerusakan pesisir, kehilangan keanekaragaman, konflik pertambangan semen dan masih banyak lagi, setidaknya itu yang terjadi di dekat tempat tinggalku, Jawa Tengah. Semua terjadi karena kewenangan manusia akan alam itu sendiri, seolah-olah kita bukanlah bagian darinya. Pemikiran itu lahir karena paham bahwa manusia adalah pusat dunia ke seluruh mahluk hidup. Layaknya akar, hal itu tumbuh di setiap detik kehidupan kita, padahal itu tidaklah tepat. Upaya mengenai lingkungan juga acap kali hanya berhenti ditindakan shallow ecology. Pengertian bahwa “kita harus menjaga alam agar tetap hidup nyaman” terkadang terasa kurang untuk menutup luka-luka di muka bumi ini. Bukankah bumi itu sendiri memiliki nilai intrinsik? Kita sering kali berhenti pada pernyataan shallow ecology itu. Mengapa manusia harus menjadi tolak ukur segalanya? Bukankah itu bentuk daripada diskriminasi alam? Padahal alam tanpa manusia sendiri pun dapat tetap terus hidup. Pertanyaan tersebutlah yang menjadi dasar dari deep ecology yang setidaknya harus kita pahami bersama.
Deep ecology hadir bukan hanya tentang menjaga alam, tetapi tentang menggeser pusat dunia yang tadinya dari manusia ke seluruh mahluk hidup. Manusia sudah terlalu besar membuat kerusakan pada alam kita, sedari hal sekecil abu rokok hingga lobang yang menembus perut bumi. Seseorang bernama Arne Næss, filsuf asal Norwegia ini, menyampaikan bahwa “semua mahluk hidup memiliki nilai yang sama secara hakikatnya”, dengan ini dapat disimpulkan manusia tak lebih tinggi dari pohon, sungai, atau semut sekalipun, kita hanya berbeda dalam bentuk eksistensi saja, tak lebih dari itu. Melalui kacamata eksistensial, deep ecology mengajak kita untuk meninggalkan ego besar ini dan kembali rendah hati di hadapan dunia yang jauh lebih tua dari kita. Alam kita sudah banyak sekali kehilangan marwahnya karena tindakan-tindakan manusia yang terlampau batas.
Walaupun permasalahan alam ini mengakar pada manusia dengan perilakunya, Murray Bookchin hadir dan menyampaikan bahwa ini bukan hanya antara manusia dengan alam, melainkan juga hubungan hierarkis antar manusia, pada praktiknya juga menunjukan demikian, kapitalisasi mengeksploitasi habis-habisan. Tak hanya alam bahkan sesama manusia itu sendiri. Murray menyebutnya dengan social ecology. Gagasan mengenai keseteraan mahluk yang tertumpahkan dalam deep ecology terasa timpang apabila tak melihat ke akar luka dari sisi yang lebih sosial, itu yang coba disampaikan Bookchin. Di balik kehancuran alam, hierarki tentunya jauh lebih tua dari alam dan manusia itu sendiri. Dalam gagasannya: penindasan alam hanyalah cerminan dari penindasan yang diciptakan manusia terhadap sesamanya. Alam tak mungkin rusak dengan sendiri, melainkan sistem yang memuja kekuasaan dan laba. Selagi masih ada ketimpangan, maka sulit untuk berharap alam dapat tenang. Sama halnya seperti alam, manusia-manusia kelas bawah ini tak akan kunjung tenang pula. Lebih dalam dari itu, kita tak akan pernah bisa memiliki masyarakat yang ekologis tanpa masyarakat yang egaliter. Social ecology memberikan pemahaman bahwa selama masih ada yang “menguasai” dan “dikuasai”, maka akan selalu diterjemahkan ke dalam hubungan manusia-alam, praktik kapitalisme negara sering sekali menciptakan pola: alam sebagai komoditas dan manusia kecil bagi tenaga kerjanya. Kerusakan alam yang sempat disebut di awal tadi, terjadi bukan hanya antara alam dan manusia, tetapi hubungan kuasa antara pemerintah, korporasi, dan warga desa.
Social ecology mengingatkan kita bahwa alam tak akan kunjung pulih sebelum manusia berhenti untuk saling mendominasi. Melalui gagasan tersebutlah alam dapat berjalan seperti sediakala, oleh karena perlu setidaknya untuk dipraktikan. Jika deep ecology berbicara mengenai kesetaraan makhluk hidup secara hakekatnya, maka social ecology berbicara mengenai siapa dalangnya, yaitu mereka: manusia dengan keserakahannya yang melakukan praktik diskriminasi terhadap sesama manusia. Mungkin alam tak benar-benar marah namun meniru cara manusia memperlakukan manusia lainnya yang lebih rendah darinya. Atau mungkin hujan bukan lagi hambatan untuk pergi meminum kopi, tetapi sebagai pelarian mereka yang terekspoiltasi untuk beristirahat. Lagi-lagi, manusia dengan segala aktifitasnya, manusia yang tak mensetarakan manusia lainnya, manusia dengan segala nafsunya akan sesuatu yang tampak membuat kehidupan ekologis terasa hambar dan penuh penderitaan.
Dua gagasan mendalam mengenai ekologi atau alam tersebut dirasa sangat perlu diterapkan: deep ecology sebagai ruh bertindak dengan alam dan social ecology sebagai senjata untuk mengembalikan kewarasan alam. Itulah jalannya, jalan menuju kehidupan ekologi yang didambakan dan agar tak menjadi utopia.
Penulis: Muhammad Dwiky, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Instagram

Posting Komentar untuk "Iklim Menggila, Deep dan Social Ecology Jalannya!"
Posting Komentar