Angka: Terpinggir dan Membebaskan
![]() |
| Gambar diolah oleh A. |
Selama ban tak meletus, bensin cukup, servis rutin, berkelana bukan
merupakan sesuatu yang berbatas. Mungkin, itu bayangan Che Guevara ketika
berkeliling Amerika Selatan pada akhir 1951 lalu. Barangkali pula hal itu
sempat terpikirkan—mungkin penting—olehnya di luar bayangannya menyoal
revolusi. Selama perjalanan berlangsung, dikisahkan, bahwa Che tersentuh
kondisi masyarakat Latin yang tak terurus.
Sebagai seorang dokter sekaligus pemikir, Che membayangkan kondisi ideal bagi masyarakat di hadapannya. Dan, bayangan itu berhasil terwujud di Kuba karena kerjanya dengan Castro lewat gerakan 26 Juli. Meski, kini, Kuba juga sedang bertahan dalam kondisi yang kurang ideal pula. Tetapi, kisah itu tetaplah pengalaman besar bagi dunia. Sesuatu yang berarti bagi kita semua.
Kita semua tahu bahwa Che adalah sosok besar. Wajahnya sering berkibar di sudut stadion, jalanan, atau mural-mural di tembok kota. Oleh sebab itu, kita tak perlu mempertanyakannya lagi. Pidatonya di podium PBB 1964 juga masih terus diperbincangkan hingga hari ini, ia menutupnya dengan sangat ajaib: patria o muerte!
Bila kita enggan melupakan peristiwa bahasa, maka belakangan kita kerap dihadapkan pada ketidakmampuan para pemimpin mengolah bahasa di depan publik. Tak ada Che dengan Patria o Muerte-nya, tak ada Tan dengan tuan rumah takkan berunding dengan maling yang menjarah rumahnya, tak ada Soekarno dengan Penyambung Lidah Rakyat-nya, tak ada Abdurrahman Wahid dengan gak jadi persiden gapapa. Gitu aja kok repot.
Apakah kita sedang krisis tokoh yang dapat dijadikan contoh?
Bulan November penuh dengan hujan, ditutup dengan berita bahwa saudara-saudara kita di Aceh, Sumut, dan Sumbar terkena musibah banjir bandang. Bahkan, hingga tulisan ini tayang, empati dan simpati masih kalah dengan ego. Bayangkan, terjadi di media. Anak-anak menangkap informasi itu setiap hari. Sebelum berangkat dan sepulang sekolah.
Sewaktu berkesempatan menyesap kopi beberapa tahun lalu, pernah ada guyonan yang rasanya pas dengan situasi hari ini. Pernyataan yang sebetulnya berada di tengah kita. Sikap yang sesungguhnya adalah representasi kita, sebagai sesama manusia. Dan, ketika hal itu terjadi, respons apa yang menyebalkan?
Kita mendengar dengan saksama: “Sok paling peduli sok paling kemanusiaan.”
Ujaran itu bukan buatan akal imitasi, namun muncul dari orang yang seharusnya menjamin kehidupan kita. Sungguh, menyebalkan sekali. Siapa yang tidak tersakiti oleh ujaran itu? Tak perlu menunggu terlalu lama kajian mengapa ujaran demikian kerap muncul. Sebab, hal itu kita rasakan bersama. Tanpa kecuali.
Karena itu, maklum apabila guyonan termaksud muncul beberapa tahun silam—mungkin saat ini masih terjadi namun tak ekspresif lagi, beralih menjadi bisikan. Betapa, sebenarnya kita sangat peduli dengan kehidupan, namun dengan cara yang unik. Andaikan guyonan itu sebuah kisah.
***
Pencerita sudah menyampaikan ceritanya sembilan puluh persen, kini ia akan menutup kisah sembari berharap pembaca sekalian mengikuti salah seorang tokoh.
Malam sudah terlampau larut, kopi tinggal ampas semata. Bahasan tinggal sesuatu yang kering. Negara. Mereka bertiga membicarakan kisah di sebuah anime yang bertakarir bahasa Jawa. Salah seorang dari mereka ingat betul pernyataan dalam takarir itu. Ketika bahasan sedang serius-seriusnya, ia menyilangkan kaki lalu menunjuk ke arah langit.
“Ayo mulih, negara ben diurusi cah-cah!”
***
Kisah itu, kini seperti nyata. Ketika kayu gelondongan terbawa arus banjir, konon adalah pohon tumbang dan lapuk. Tetapi, yang tampak adalah potongan gergaji mesin, bukan pohon tumbang. Kayu tampak utuh dan kuat. Konon (lagi), itu bukan karena pembalakan liar. Pencerita sebenarnya hendak menambahkan kisah soal kayu itu, namun tulisan di koran berbatas 1200 kata, maka demi efisiensi kisah, ia menambahkan ceritanya kepada teman-teman di tongkrongannya secara lisan.
***
Bila suatu masalah besar terjadi, dan ketakutan disebarkan, maka guyonan adalah cara paling mungkin direngkuh. Kalau, kata pemuda-pemudi tongkrongan: lha arep piye meneh? Serius ora oleh, riset ora dinggo, ngene we jelas, aman. Aman?
Kisah-kisah para tokoh yang disebut di diskusi intelektual adalah para ilmuwan. Sementara, kisah-kisah di antara orang-orang pinggir adalah tetangga yang menawarkan kudapan. Dan, di antaranya sama-sama menjadi inspirasi. Sebab, kalau tak ada contoh dari para pemimpin, lingkungan dan orang terdekat sebagai sumber tidaklah salah. Tidak semuanya harus besar.
Bayangkan, guyonan yang dibuat pencerita itu benar adanya. Cah-cah dalam bahasa Jawa artinya teman-teman. Senyatanya yang dilakukan cah-cah untuk saudara-saudara kita yang sedang terkena musibah terjadi secara organik. Makanan, selimut, obat-obatan, dan kebutuhan lainnya sampai di tempatan dengan baik.
Cah-cah memang selalu begitu. Mereka kerap memiliki perasaan sama. Mereka mencintai saudaranya satu sama lain. Lebih sering, hal itu terjadi tanpa pertanyaan. Mereka melakukan dengan berbagai cara, ada yang membuka donasi lewat platform, berjualan merchandise, dan ragam lainnya. Tanpa mengharapkan tepuk tangan dan perasaan harus diakui: aku wis nyumbang.
Di tengah dunia yang haus eksistensi ini, ada momen-momen yang hadir bukanlah keinginan eksistensi diri. Namun, eksistensi emosional. Tangkapannya memang kadang bagi sebagian orang menyebalkan, karena terjadi di media sosial yang dianggap tidak nyata. Tetapi, kerja dunia terus bergeser, bukan? Bahwa sesuatu yang membatasi mesti diruntuhkan.
Berkat eksistensi emosional ini, yang kemudian kita sebut sebagai wacana justru memiliki kekuatan dahsyat. Batas perbedaan segera hilang, berubah menjadi empati yang terbangun karena perasaan yang tak pernah mendapat perhatian. Karena itu, guyonan jangan menyepelekan orang-orang kalah, adalah benar adanya.
Mereka sangat solid sekalipun tak pernah tersentuh. Apa yang lebih mahal daripada kebersamaan? Adalah saling membantu satu sama lain. Kerja semacam itu seyogianya merupakan tanda bahwa orang-orang kalah adalah orang-orang yang benar-benar belajar apa artinya menjadi manusia.
Mereka tak pernah membahas bahkan menyebut apa yang mereka lakukan sebagai bentuk belajar menjadi manusia. Ingatlah, ketika membayar di angkringan dan uang yang kita punya kurang, “Mpun dibeta mawon, Mas.” Terang si penjual santai. Tidakkah hal itu pembelajaran fundamen?
Di tengah arus yang begitu cepat, masih ada sesuatu yang terus kita pendam. Saat kita dianggap sebagai angka belaka. Dan, dihitung dengan angka pula. Maka, angka-angka ini sebenarnya adalah akumulasi yang mungkin akan tak terhingga: menjelma suara-suara yang membebaskan.
Meski masalah yang terjadi kadung kalut, bersyukur karena cah-cah terus bergerak. Mereka memang tak mudah dikenal, namun ada di mana-mana. Sebagaimana kita menyapa orang yang tak kita kenal ketika berkendara di desa. Seraya itu, kita dapat dengan mudah mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari cah-cah, yang lebih sering lekat di antara angka-angka statistik itu.
***
Pencerita ingin sekali menambahkan dalam kisahnya, bahwa ia ingin
memberi tahu sang tokoh: “sing ngurusi cah-cah tenan”, lagi-lagi ia kecewa
sebab terbatas syarat 1200 kata.
Dengar-dengar, pencerita itu sekarang berkelana. Namun, mimpinya tak sebesar Che. Dia di mana? Siapa?
Penulis: Rudi Agus Hartanto

Posting Komentar untuk "Angka: Terpinggir dan Membebaskan"
Posting Komentar