Rock in Solo dan Jogjarockarta 2025: Gemuruh Wacana dari Tanah Mataram

Instalasi di Rock In Solo 2025 | Foto: Rohmad Dwi

Hari penuh kegelapan tersaji di bekas tanah Mataram. Dua festival musik keras, tergelar dalam dua minggu. Gelegar dentuman menghantam dua kota bersejarah: Surakarta dan Yogyakarta. Apa sajian di antara kedua tanah yang sering disebut sebagai Mataram itu? Tiga raksasa dunia datang. Dan, saya berada di tengahnya dengan detak jantung yang serupa tempo double pedal yang terus menggeber panggung.

Metalhead mengenal dua gelaran tersebut sebagai Rock in Solo (RIS) dan Jogjarockarta (JRF). Festival ramah UMR bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Terjangkau tanpa harus berurusan dengan bank plecit, serta memungkinkan untuk diakses siapa saja tanpa mendengar sambat: “aku ora nduwe dhuwit."

Mari kita sebut, Mayhem, Belphegor, dan Anthrax. Ketiganya datang dalam bentuk mesin raksasa lintas generasi. Mungkin, di dunia peperangan, kita akan mengingat U-boat milik militer Jerman. Dan, mereka adalah mesin yang melampaui zaman: era orde baru di Indonesia, bubarnya Uni Soviet, keputusan Bush menyerang Irak, hingga kegagalan Timnas Indonesia berpartisipasi di Piala Dunia 2026.

Minggu (23/11) Mayhem dan Belphegor melepaskan amunisi terkerasnya di Benteng Vastenburg, Surakarta. Kegelapan hadir di tempat pusaran politik Indonesia 2014-2024. Dan, Anthrax (7/12) menggulung lapangan Stadion Kridosono dengan penuh energi. Mbah-mbah asal New York itu benar memberi sajian yang persis kebisingan jalanan NYC di film-film.

Sebagian besar euforia kedua gelaran dapat ditemui di pelbagai platform media. Dari temuan yang ada, yang dibicarakan adalah kesenangan dan kemegahan dua festival itu. Namun, bagaimana bila festival musik keras senyatanya tidak sepenuhnya pengertian yang sering beredar: gelap, kotor, bising, dan lainnya. Dan, menjadi sesuatu yang subtil ketika festival terinternalisasi sebagai pengalaman, bahkan sangat personal.

Saya bukan metalhead penuh waktu. Saya paruh waktu. Mengingat setiap bangun tidur, saya menyimak alunan dangdut dan campursari dari tetangga dengan volume sak hilolah. Begitu pula, ketika di tempat kerja, saya rutin mendengar Taylor Swift, Blackpink, Adele, dan lain-lain. Belum lagi, ketika ronda karang taruna, kami bergitar lagu-lagu Peterpan, Shiela on 7, Denny Caknan, dan lainnya.

Musik begitu berwarna, karenanya saya mengingat kampanye kugiran death metal asal Kediri, Killharmonic: Memetalkan masyarakat, memasyarakatkan metal. Maka, kehadiran Mayhem, Belphegor, dan Anthrax ke kota dekat tempat saya tinggal, membuat saya memiliki misi khusus serupa kampanye Killharmonic.

Anthrax di Jogjarockarta 2025 | Foto: Rohmad Dwi

Saya datang ke dua festival tersebut, tidak seperti biasanya saya mendatangi festival: sendiri. Saya ditemani seseorang yang asing dengan musik keras. Dia dekat sekali dengan musik adiluhung: gamelan, etnik, dan sejenisnya. Sebagai seorang yang terdoktrin metal sampai akhir, saya berharap ada pengalaman lain dari perkenalan dengan musik keras ini: pengertian.

Bahwa dunia menyimpan kebisingan, ketidakteraturan, dan kekacauan yang lebih sering dihindari alih-alih dipelajari. Musik metal menyediakan ruang untuk belajar. Mengenal pengertian dunia yang tidak stabil, penuh angkara, goyah, serta tak terkondisikan. Karena itu, bukan suatu yang mengada bila menyebutnya sebagai tempat produksi pengetahuan yang jarang tersentuh.

Festival pada akhirnya berposisi seperti ruang kelas. Apa yang ditawarkan olehnya, apa yang membuatnya akan terkenang, hingga bagaimana caranya menjadi sebuah kisah. Hal ini mengingatkan kita pada narasi yang terus hidup dari dua festival musik keras Indonesia di masa sebelumnya: Java Rockin’ Land dan Bandung Berisik.

Kisah Bandung Berisik yang menguatkan narasi budaya Sunda terus terproduksi hingga kini. Atau, pertemuan budaya global yang terjadi lewat gelaran Java Rockin’ Land. Tahun ini, konon, JRF sudah berada di ujung, alias tahun terakhir gelaran mereka. Sementara, RIS, lima tahun lalu menyatakan comeback setelah enam tahun tertidur.

Pada akhirnya, musik keras terus memroduksi pengalaman. Penggemar yang beregenerasi membuka jalan, bahwa musik, sebaiknya dilihat sebagai medan belajar. Bukan stigma yang membuatnya mati dan tidak berkembang. Baik RIS atau JRF, bukan menawarkan raksasa dunia belaka. Mereka menghadirkan pengalaman, sekaligus memberi kesempatan setiap yang datang untuk berkisah.

“Aku mbiyen pernah mangkat ning Jogjarockarta,” ucap seseorang mungkin sepuluh tahun mendatang. Hal ini serupa dengan bapak-bapak berjaket jeans penuh patch yang menceritakan pengalaman mereka menonton Metallica di Stadion Lebak Bulus, atau menonton Ryker’s dalam gelaran terakhir Bandung Berisik. Mungkin pula, pengalaman naik kereta penuh PKL ketika berangkat ke Java Rockin’ Land.

Penonton di Jogjarockarta 2025 | Foto: Rohmad Dwi

Kisah adalah sesuatu yang mahal. Ia (baca: kisah) mungkin hanya cerita tongkrongan. Mungkin sekadar sobekan tiket di dalam dompet lusuh. Atau, foto lama yang sudah memburam. Tetapi, kisah menjadi sesuatu yang mengikat bagi seorang yang sedang meletup semangatnya. Asalkan, tidak berkesan menggurui atau mendikte wacana zaman. Ia hidup. Dan, ia memberi kabar zaman.

Begitu pula, saat saya berada di tengah kerumunan RIS. Menjadi bagian kerumunan sejak 2012—tak pernah absen—menandai tangkapan saya atas festival ramah bagi segala umur, gender, dan belakangan bertambah, ekologi. Ini adalah festival berkesan. Sebab memberi pengalaman wacana yang, sudah barang tentu, mengambil peran sebagai catatan ketika pulang selain tontonan di panggung.

Berkat RIS pula, hubungan hangat terjalin antarpengunjung. Mereka tidak peduli kita berasal dari mana, berlatarbelakang apa, atau dari kota atau desa. Semuanya melebur, hal ini yang menjadi ikatan. Tidak ada perang outfit, yang terjadi adalah galeri ilustrasi berjalan, di mana gambar ilustrator terbaik menempel di antara fesyen para pengunjung.

Saat itu pula pesan-pesan lugas dan bernas mengudara bebas. Perihal apa yang terjadi di dalam negeri maupun yang melintasi kontinen. Dari kerusakan hutan di Indonesia, hingga perang di Palestina. Setiap pesan menjadi jelas, sesungguhnya kita adalah manusia yang saling terikat satu sama lain. Berbagi ruang hidup, aman, dan nyaman. Segala tentang itu, kini sedang menjelma pertanyaan: adakah?

Pengalaman itulah yang penting, kisah yang tidak berhenti pada siapa penampil, dan pengunjung pernah menonton siapa. Namun, ada pesan yang terbawa pulang sehingga dapat disebarkan. Beginilah kondisi di sekitar kita. Hendak dibungkam sekalipun, alam akan menggantikan yang berbicara. Dengan cara-Nya, atas kuasa-Nya.

Begitulah yang terjadi di RIS 2025, kita belajar perihal kondisi lingkungan di Indonesia yang tidak baik-baik saja. Ulah tangan serta otoritas yang terus menggerus alam, menyebabkan kerusakan di mana-mana. Nyawa sekadar angka, bumi semata kekayaan. Rakus, bahasa Indonesia merekamnya dengan diksi itu.

Sementara itu, di Stadion Kridosono, JRF hadir dengan teriakan metal klasik. Anthrax, dedengkot trash metal asal NYC. Mereka meneriakkan persoalan sosial yang sepertinya tak pernah selesai, bahkan dari sudut pandang historis atau futuris. Kemiskinan dengan keberanian, kelemahan dengan penghisapan, dan relasi kebertahanan pinggiran.

Bahasa dipertentangkan di RIS dan JRF 2025: siapa pemilik sesungguhnya bahasa? Mungkin kesadaran tak terbangun seketika, namun dalam taraf tertentu sebelum mencapainya, setidaknya wacana menyebar. Menghardik setiap orang yang kelak membawanya ke ruang domestiknya: keluarga, teman, komunitas, organisasi, dan jalanan.

Itulah yang saya bayangkan di tengah tempo detak jantung secepat pukulan drum Charlie Benante. Kita belajar, dalam hangat genggam tangan malam itu. Pengetahuan dari tempat yang tepat untuk menggambarkan analogi hidup yang keras. Lesapnya mimpi ideal atas nama dunia. Dan, kekalahan demi kekalahan yang semestinya diungkapkan dalam sekali waktu.


Kisah: Emosi, Lingkaran, dan Teriakan
Sayangnya, kita tak mungkin merilis kepadatan hari dengan berteriak-teriak di jalan raya. Hal itu bukan pilihan bijak. RIS dan JRF menyediakannya sebebas-bebasnya. Kala di jalanan tak lagi aman dengan megaphone, dan media sosial tak ramah lagi dengan takarir yang kita tulis. Maka musik keras menyediakan ruang untuk bersuara.

Keseruan Penonton di Rock In Solo 2025 | Foto: Rohmad Dwi

Lingkaran mesti terbentuk, tak peduli besar atau kecil. Bila di warung kopi berbuah diskusi dan sikap, maka lingkaran di tengah moshpit adalah praktik kecil merilisnya. Teriakan yang sudah kita pendam palung, dapat kita biarkan resiprokal. Saling mengepal, bahwa perasaan kita sama.

Sebuah pengertian yang pasti bahwa keberanian bisa tumbuh lewat kebersamaan. Perasaan kecil ketika berada di kamar, mesti segera dibangunkan. Mengambil sesuatu yang dapat dijadikan refleksi dari ruang yang kerap dianggap minor. Dengan memulai pertemuan, lalu menyebarkannya. Agar setiap orang mengalaminya, sekalipun perlahan.

Dan, karena itu, saya setuju dengan orang-orang yang mengatakan bahwa festival sebaiknya  meninggalkan kisah terkenang. Saya salah satu bagian dari kisah itu di RIS dan JRF 2025: sesama penggemar dan personal. Seterusnya bila memungkinkan.


Editor: A.


Posting Komentar untuk "Rock in Solo dan Jogjarockarta 2025: Gemuruh Wacana dari Tanah Mataram"