Batas: Retas Bersama
![]() |
| Gambar diolah oleh A. |
Belum juga lebih lima tahun, kondisi luar
biasa yang terjadi di seluruh dunia mampu kita lewati: Pandemi Covid-19. Waktu
di mana kita rutin mendapati berita yang membuat ngelus dhadha: pemutusan
hubungan kerja, ekonomi lumpuh, pendidikan tidak berjalan baik, dan semua pihak
kelimpungan mencari jalan keluar mengatasinya. Kita belum lama melewatinya.
Benar. Belum lama.
Di balik kondisi itu, muncul
gerakan-gerakan baik yang berjalan organik. Secara sederhana kita dapat
menerjemahkannya dengan terjadinya perputaran ekonomi di arus bawah. Tagar di
media sosial seperti rakyat bantu rakyat, kawan bantu kawan, serta ragam
sejenis lainnya ramai kita temui di media sosial serta mudah menemukan praktiknya
di lapangan.
Bila kita memanggil kembali ingatan pada
saat itu, di eks-Karesidenan Surakarta, obrolan-obrolan terjadi. Sepotong peribahasa
tersampaikan: Pager mangkok luwih kuwat tinimbang pager tembok. Rasanya
jika kalimat itu tersampaikan kepada kita, seolah-olah memiliki tuah, dan tidak
berhenti ketika pandemi dinyatakan selesai. Namun, terus relevan hingga kini.
Memaknainya pun tidak harus mencari lapisan
semantik di baliknya. Kita bisa menangkapnya secara tersurat. Tidak perlu
muluk-muluk mencari kerumitan makna di balik istilah teknis. Jelas, bahwa
ketika kita berbagi sedikit dari sesuatu yang kita miliki lebih baik daripada
membangun tembok tinggi. Sebab, jika begitu kita tidak bisa mengetahui apakah
tetangga kita sudah makan siang atau belum. Secara organik. Bukan seperti sistem
bermasalah menyoal makan siang yang rutin kita temui di koran-koran.
Seiring itu, peribahasa selalu dapat
dimaknai ke mana-mana. Ahli bahasa atau sastra akan memaknainya dengan
sistematis dan terstruktur. Namun, di luar itu, ada pula yang menafsirnya
dengan bebas. Kadang muncul dalam sekejap, tak jarang pula, jauh dari maksud
utamanya. Mungkin hal itu bermasalah lewat kacamata tertentu. Sementara, sisi
lain yang perlu kita ketahui adalah pengguna bahasa sudah rutin bermasalah
dalam menafsirkan suatu maksud bahasa.
“Maksudmu piye, Bos?” Tanya seorang yang
terbiasa memanggil siapa pun dengan bos.
“Kuwi mbuk anggep solidaritas ya oleh,
Bos.” Terang temannya yang keminter—kadang pintar sungguhan—sekenanya.
Jawaban terkait kemudian sungguh melebar ke
mana-mana. Entah bagaimana peruntungan mula-akhir dari peribahasa bahasa Jawa itu. Akhirnya, solidaritas
menjadi kata kunci dalam menafsir peribahasa terkait. Bahkan, ada yang bilang
penutup puisi Herry Sutresna di Bersemi Sekebun-nya Efek Rumah Kaca adalah sama maksudnya dengan pager mangkok.
“...bertahanlah sedikit lebih lama,
tumbuhlah liar serupa gulma,” kata Herry Sutresna.
“Kita seperti gula, Bos?” lanjut orang yang
lekat dengan menyapa orang lain dengan bos itu.
“Iya, gula. Anggaplah sama.”
Begitulah bahasa. Sungguh mengikat apabila
kita mencari tahu peruntungan maksudnya. Bisa bergeser jauh maksudnya ketika
satu huruf saja hilang. Dan, sesungguhnya, bahasa adalah sesuatu yang penting.
Begitu pula dengan peribahasa yang menjadi pembuka tulisan ini. Kita bisa menafsirnya
jauh lebih mendalam.
Hari-hari terakhir, frasa kebebasan
berekspresi sedang menjadi pertanyaan banyak pihak. Bahasa tiba-tiba
menjadi medan laga yang unik. Segala keresahan yang dirasakan banyak jiwa yang
biasanya tersampaikan lugas, bergeser menjadi berbatas. Anak muda Rusia
merasakan betul hal itu. Tidak sedikit pemberitaan terkait, terutama usai
meletusnya perang Ukraina.
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Kita
bisa menyimak pidato pengukuhan guru besar Pujo Semedi.
Masyarakat petani Jawa, lekat dengan kebiasaan ngasak. Artinya, ketika
padi gogrokan (baca: sisa) diambil oleh orang lain, petani yang panen
tidak mempermasalahkannya. Catatan yang paling jelas, ngasak, atau kita
geser saja menjadi pager mangkok adalah jaring pengaman sosial yang
terbangun secara kultural.
Begitulah gambaran sederhana dari pager
mangkok. Apabila kondisi demikian bermasalah dalam lingkup yang lebih
besar, dampaknya akan semakin besar pula. Sebab, mangkok secara harafiah
berarti wadah makanan. Jika urusan perut ini menghadapi masalah—apalagi dalam
lingkup besar, maka mengatasinya tidak bisa sekadar diselesaikan dengan bahasa.
Orang jika lapar tidak sempat untuk
berpikir panjang. Ia akan berupaya memenuhi kebutuhan perutnya terlebih dulu.
Mengingat, perut adalah hal paling mendasar urusan hidup. Karena itu, orang
lapar ketika berbicara akan lantang, jujur, dan tanpa tedheng aling-aling.
Situasi demikian tidak mungkin berhenti dengan ancaman atau perintah untuk
diam.
Bila itu terjadi, maka akan memantik perut
kosong lain semakin keras bunyinya. “...O Allah!/ Betapa indahnya sepiring nasi
panas, semangkuk sop dan segelas kopi hitam. O Allah! Kelaparan adalah burung
gagak...” tulis Rendra dalam salah satu sajaknya. Karena itu, konon, jika puisi
telah memberi catatan, masalah sudah terlanjur berpanjang tanpa jalan keluar.
Perjalanan memang tidak mudah. Bahasa
berkali-kali memberi peringatan, berulang kali pula coba dipatahkan. Produk
bahasa yang lahir dari pinggiran seyogianya bukan dianggap sebagai peringatan
semata, namun dalam pandang struktural mesti dilihat sebagai catatan—dengan
segala turunan poinnya, agar segera diatasi.
Sudah berapa kali pager mangkok ini
menjadi bahasan dari berbagai sudut pandang. Dari Emha Ainun Najib, Faisal
Basri, Ariel Heryanto, Mahbub Djunaidi, Ignas Kleden, Kunto Aji, Arian13,
hingga yang sedang digandrungi anak masa kini, Baskara Putra, memroduksi
bahasan terkait lewat bermacam bentuk. Kepentingan apa yang ingin dicapai
selain kesejahteraan?
Bila harapan atau mimpi terkait
kesejahteraan muncul ke permukaan lalu dianggap sebagai hal yang bermasalah,
maka apa yang berhak dimiliki? Keringat sudah terlanjur mengucur, tubuh tak
bisa lepas dari kata lelah. Hanya dengan mimpi semacam itu bertahan hidup
berlangsung.
Bukan perkara mudah jika orang yang
berharap atau bermimpi sejahtera dihadapkan dengan kemewahan atau perlakuan
khusus kepada orang-orang yang seharusnya mengurus mereka. Hal ini tidak menyangkut penerimaan terhadap
hidup yang apa adanya, justru kita tidak boleh melupakan bahwa pager
mangkok luwih kuwat tinimbang pager tembok belum lama terlewati. Benar.
Belum lama.
Belajar berlaku sepanjang hayat.

Posting Komentar untuk "Batas: Retas Bersama"
Posting Komentar