Akan Kuhadapi Dunia tapi Bentar Pentas Dulu: Sebuah Refleksi Pekerja Seni

Suasana Pentas | Foto: Svaranala Management, 2025

Kalian pasti akrab ‘kan dengan kalimat yang menjadi judul di tulisan ini? Begitu pula yang terngiang-ngiang di kepala saya sebelum pentas digelar. “Baik, kita hadapi.” Kalimat bak mantra yang kian lama kian mendaras hingga merasuk di antara bagian-bagian tubuh menjadi asupan yang membangkitkan. Mengingat bahwa sebelumnya saya merasa kantuk sudah menerjang tubuh dengan begitu kuatnya. Barangkali efek Paracetamol, Ibuprofen, dan sejenisnya yang mencoba membuat saya tenang sejenak. Sepuluh menit berlalu, saya merebahkan diri di antara sulaman kursi rotan dengan sandaran di sebelahnya. Sambil geser kanan, geser kiri, tekuk kaki, luruskan lagi, dan sesekali menahan rasa linu adalah upaya-upaya kecil yang dapat saya lakukan agar tak mengalihkan fokus rekan lainnya. Saya tidak ingin mengubah suasana backstage menjadi tenda darurat lantaran rintihan keputusasaan yang semakin lama semakin terdengar.

Seperti biasa, saya membasuh muka dan menghias wajah: menambah garis runcing di ujung mata, memoles bibir, merapikan rambut, dan mengganti baju. Tidak ketinggalan menutup luka di kaki dengan perban putih sebagai bentuk kamuflase. Setelah bersusah payah mempersiapkan diri agar terlihat lebih layak, tantangan selanjutnya adalah memakai sepatu di antara kaki yang bengkak juga tak kalah melatih kesabaran.

Singkatnya, saya kini siap bersuara lantang di antara melodi gamelan yang disulap sedikit atraktif dan dinamis. Timik-timik kaki meraih lantai panggung dengan microphone dalam genggaman. Berdirilah saya di sisi kanan panggung seraya mengucapkan salam. Tak lama kemudian penonton bersorak, berharap kami membalasnya dengan lagu riang yang akrab bagi telinga siswa-siswi sekolah menengah atas ini.

Malam dingin di Kecamatan Bawen menyambut kami untuk bernyanyi dan bersorak dalam suasana akrab lewat pertunjukan gamelan. Riuh dan pecah, antusias penonton membuat rasa sakit di tubuh saya minder. Tanpa sadar saya melompat, berpindah ke titik satu ke titik lainnya. Kami menyanyikan bait-bait lirik dengan lantang dan menjadi bagian dari hentak semangat muda-mudi yang semakin lama semakin intim. Mungkin inikah nikmat panggung yang tiada duanya? Layaknya trance yang kerap dialami penari kuda kepang dan Sang Hyang Dedari. Ramai yang berkesadaran. Bukan sorakan yang membuat kami mendongak atau kerasnya sound yang mengubah kami jadi congkak, melainkan “keselarasan” yang beradu menjadi satu. Empat lagu sudah kami bawakan, mulai dari Indahnya Dirimu hingga Lihat Lebih Dekat yang tampaknya telah menyihir jiwa muda siswa-siswi SMA Virgo Fidelis. Tak disangka, penonton dan performans berkelindan satu sama lain seolah menjelma di antara peraduan.

Perlu diingat, peristiwa ini bukan hal mustahil dapat dialami siapa saja. Bukan, bukan bagian trance-nya karena akan sangat personal dan subjektif. Maksud saya adalah kecelakaan kerja di antara para pekerja seni tadi. Jika saja saya tidak jatuh dan mengalami kesakitan barangkali refleksi ini tidak akan tertulis. Tapi tolonglah, jangan sampai harus mengalami kesakitan dulu baru tersadar, bukan?

Tepat sebulan lalu –saat tulisan ini dikerjakan– saya turut diingatkan lewat pentas teater oleh Mirat Kolektif yang memberikan hormat setinggi-tingginya pada petugas lighting panggung yang terjatuh selama bekerja, Mas Sanji. Bergeser sedikit karena saya kembali diingatkan oleh statement seorang seniman sekaligus pegawai di instansi pemerintahan Kota Solo yang terkagum pada keikhlasan temannya yang dengan sukarela mendonorkan kerja video mapping di sebuah acara konser gamelan. Ia mengungkapkan bahwa, “bersyukur dan berterima kasih karena ada proyek mahal yang dengan ikhlas beliau tidak mau dibayar. Jadi nanti akan ada video mapping di konser ini. Saya sangat bersyukur ada yang ikut nyengkuyung”, jelasnya.

Mohon maaf, saya kok jadi yang miris ya. Pikiran buruk saya mengarah bahwa ini adalah tanda yang jelas bahwa pemerintah –yang diwakili oleh sebuah festival gamelan sebagai agenda instansi– justru belum bisa mengapresiasi pekerjanya. Seniman rata-rata terlewat seperti dewa sampai-sampai daya kritisnya ikutan terenggut. Bukankah perlunya kita melihat kalau kerja kesenian tidak hanya dapat dilihat dari senang-senangnya saja? Bagi saya, materi justru adalah apresiasi yang sangat mungkin untuk diwujudkan instansi pemerintahan. Saya tidak melihat ini mudah, tapi setidaknya materi-lah yang bisa dilihat, dihitung, dikalkulasi, dan dibagi-bagi. Pada pihak yang tepat. Semoga prasangka tidak terjadi sedemikian buruk seperti pikiran saya.

Kalau ditinjau lebih dalam, memangnya ada ya jaminan keselamatan kerja bagi pekerja seni? Lha wong kami seringnya sambatan. Budaya gotong royong itu tidak sepenuhnya kurang tepat, melainkan jadi gambaran betapa kerja-kerja kesenian di depan maupun di belakang layar sangat rentan dikesampingkan haknya. Apabila merunut pada upaya pengurus negara, apakah ada undang-undang atau peraturan semacamnya yang menaungi keselamatan para pekerja kreatif? Ternyata ada yaitu Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Cipta Kerja –Pasal 99 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 86 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, Pasal 5 UU Ketenagakerjaan, Pasal 56 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja, Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan diubah melalui Pasal 81 angka 16 UU Cipta Kerja– meliputi hak memperoleh perlindungan keselamatan. Namun, bagaimana regulasi dapat berjalan? Siapa pelaksana penanggung jawabnya? Dan, seperti apa detail perlindungannya? Belum didistribusikan secara lengkap.

Kabar baiknya, upaya demikian telah diawali oleh Federasi Serikat Musisi Indonesia (FESMI) yang menjalin kolaborasi dengan BPJS Ketenagakerjaan demi memberikan jaminan sosial bagi pekerja. Singkatnya, mereka mendaftarkan secara mandiri badan kolektifnya ke lembaga penjamin sosial. Kalau di negara lain, kebijakannya kira-kira akan seperti apa ya? Mengutip pernyataan Rian Fahardhi dalam podcast Gita Wirjawan (13/9) bahwa sebanyak 59% persen generasi muda mendominasi porsi pekerjaan, yang mayoritas di posisi pekerjaan informal. Sementara payung hukum di Indonesia belum menaunginya. Di lain hal, angin segar dapat kita rasakan dari Malaysia yang pada tanggal 1 September 2025 telah mengesahkan UU pekerja lepas. Mengutip Tempo, UU Pekerja Gig 2025 sebutannya adalah hasil pengembangan model kebijakan yang dikonsultasikan secara luas termasuk dengan Universiti Malaya. Kumparan.com (3/9) meringkas isi UU menekankan pada hak pekerja yang tertuang secara tertulis melalui kontrak mencakup standar minimum pembayaran, jam kerja, dan mekanisme pemutusan kerja. Kebijakan ini memastikan tidak adanya pembatasan sepihak. Didukung dengan adanya pembentukan badan berupa Tribunal Pekerja Gig untuk menangani sengketa, memulihkan hak pekerja, memberikan kompensasi, dan memastikan upah.

Dari fakta ini mengingatkan betapa pentingnya kebijakan yang ikut menentukan jalannya bagian-bagian di bawahnya. Penentu idealitas bukan hanya tentang kebijakan yang paling tepat, melainkan tentang keterlibatan pembuat kebijakan untuk melihat lebih dalam tujuan kebijakan dibuat, siapa yang terlibat, bagaimana kebijakan berjalan, dan mengapa kebijakan tidak terasa signifikan, serta evaluasi sebagai tahap lanjutan. Barangkali kebijakan terlampau konseptual, berbanding terbalik dengan peristiwa di lapangan yang semakin lama semakin kompleks. Hal ini dapat dimengerti bahwa kompleksitas hanya akan dapat terurai apabila kesadaran terhadap pemahaman pengertian-pengertian tersebut bersedia untuk terus ditumbuhkan. 

Mengutip pendapat Oakley dan Bell bahwa semua masalah ini akan berdampak pada apa yang kita lihat sebagai 'budaya' dan mengapa kita mungkin merasa bahwa kebijakan publik memiliki peran di dalamnya, serta bagaimana seharusnya peran tersebut menurut kita. Mengingat hal ini seharusnya menyadarkan kita pada fakta bahwa kebijakan budaya bukan hanya masalah administrasi, memutuskan apa yang akan didanai atau bagaimana mengukur ukuran industri, tetapi sesuatu yang melibatkan pertanyaan nilai, kepercayaan dan prioritas dengan cara yang sangat mendasar (Bell dan Oakley, 2015: 41).

Beruntungnya yang kompleks-kompleks di arena pekerja seni ini punya daya solidaritas tinggi. Selain alasan emosional misalnya. Alasan lain karena pelaku solidaritas tahu betul pentingnya keberadaan mereka di lanskap kultur berkesenian. Pekerja seni sadar bahwa suara-suara perlu terus digemakan, gerak terus disimulasikan, dan pandangan harus diperlebar. Pemahaman terhadap pentingnya kehadiran inilah yang barangkali belum disadari pembuat kebijakan yang mengakibatkan hak-hak masih terpinggirkan.

Kabar baiknya, kini seniman dapat tunjangan dua puluh dua juta rupiah per bulan dari pemangku kebijakan. Berita dari Artopologi (15/10) ini jadi oasis di tengah padang gurun yang gersang. Akhirnya, seniman-seniman dapat apresiasi materi yang layak. Tunjangan terbukti mengurangi tekanan finansial dan membuat kondisi mental seniman lebih stabil. Tentu saja dampaknya pada produktivitas berkarya; seniman dapat fokus berlatih, mencari ide segar dengan optimal, daya kritis meningkat, dan sebagainya. Apresiasi demikian menggambarkan bahwa negara telah menyadari bahwa seni adalah jalan penting memahami sekitar. Tapi ini di Irlandia, selamat!



Penulis: Gutami Hayu Pangastuti adalah seniman dan penulis independen alumni Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa UGM. Bersama grup Artaxiad Gamelan Syndicate ia turut menginisiasi Gamelan Camp dan Lokananta Gamelan Gigs. Ia pernah terlibat sebagai seniman residensi di Global Youth Culture Forum (GYCF) Korea Selatan 2018, komposer di Kata Bunyi Forum 2024, penulis buku di BWCF 2024, seniman eksibisi tunggal untuk pamerannya di Galeri Lokananta 2025, dan pelantun lagu bercorak tradisi Buddha. Kini, ia tinggal di Surakarta.

Editor: Rudi Agus Hartanto

Posting Komentar untuk "Akan Kuhadapi Dunia tapi Bentar Pentas Dulu: Sebuah Refleksi Pekerja Seni"