Punk dan Semangkuk Mie Ayam
![]() |
Gambar: Theo Traperta |
Di tengah kota padat dengan gedung menjulang tinggi, di antara lalu lintas yang tak pernah tahu waktu dan dihimpit baliho-baliho menjual mimpi konsumtif. Seringkali melihat atau bahkan kita sendiri merasakan beratnya hidup hanya mengandalkan keberuntungan, seperti yang kita lihat: kaya semakin kaya, miskin semakin terpinggirkan. Dalam kondisi ekonomi menengah ke bawah, rasa-rasanya seperti sedang dicekik pelan oleh suatu sistem yang katanya demi kemajuan bersama. Kita tak sedang hidup, tapi bertahan di tengah naiknya harga kebutuhan pokok dan pajak yang ditarik dari segala sisi. Ongkos hidup terus membubung, dan upah minimum tak lagi cukup buat menutup biaya hidup, apalagi mimpi. Kini hidup bukan lagi tentang harapan atau cita-cita, tapi soal bagaimana cara kita bertahan hidup untuk kedepannya. Setiap hari seperti permainan bertahan, di mana yang kalah bukan karena mereka malas, tapi karena mereka dipukul mundur oleh keadaan sosial yang diciptakan oleh sistem.
Ketimpangan sosial terjadi bukan lagi soal teori atau sebatas opini. Coba kita perhatikan sejenak, bagaimana petani menahan rugi karena harga pupuk terus naik, sementara harga gabah justru anjlok tak karuan. Bagaimana buruh pabrik harus tetap bekerja lembur hingga larut malam, namun gaji yang diterima tetap tak cukup untuk menutup kebutuhan pokok. Semua itu terjadi begitu saja. Sementara pada saat bersamaan ada segelintir orang yang makan siang dengan anggaran pajak, mungkin biaya sekali duduk bisa untuk memberi makan satu keluarga miskin selama satu minggu. Mereka duduk di ruangan fancy, memesan makanan impor sambil berbicara soal “pengentasan kemiskinan” yang tak pernah benar-benar mereka pahami.
Di antara semua luka itu, lahirlah bentuk perlawanan yang tak terduga. Bukan dalam bentuk partai politik maupun ruang akademik, melainkan dari trotoar jalan, musik keras dan sorot mata yang menolak tunduk. Mereka tidak punya panggung resmi, tak punya jabatan, tak punya mikrofon, namun selalu menyuarakan sesuatu yang jauh lebih jujur tentang keresahan yang kita semua rasakan. Mereka bicara tentang ketidakadilan, tentang perut yang lapar, dan tentang dunia yang terus berpihak pada penguasa. Mereka adalah simbol dari yang tersingkir, tak lulus dalam kurikulum sukses versi negara maupun mertua, tapi memilih untuk tetap hidup dengan membentuk ruang hidup mandiri sebagai simbol kekecewaan sekaligus perlawanan terhadap sistem yang timpang.
Dan di tengah hidup serba susah, hadir satu hal sederhana yang jadi ruang pengikat nasib yaitu “semangkuk mie ayam”. Bukan karena rasanya luar biasa, melainkan karena ia masih bisa dibeli tanpa rasa bersalah, tanpa rasa kalah. Mie ayam mungkin bukan makanan istimewa. Tapi bagi mereka yang hidup dari gaji UMR pas-pasan, lebih sering kurang dari cukup itu satu-satunya yang masih bisa dibeli tanpa harus ngutang. Ia jadi ruang bernapas di antara tekanan hidup yang menyebalkan. Di sana para buruh, mahasiswa, pedagang asongan, pengangguran, semuanya duduk sejajar. Karena hanya di situ, keadilan sosial terasa mungkin walau hanya sebentar. Revolusi tak datang dari ruang parlemen, keadilan tak akan pernah dibawa oleh lembaga tinggi negara. Tapi bisa jadi, ia tumbuh dari bangku peyot, kretek-kretek, ruangan yang bau keringet perjuangan di warung kecil yang tak tercatat negara.
Semangkuk mie ayam tak bisa menyelesaikan semua permasalahan, tapi ia mengajarkan kita tentang rasa cukup. Bagaimana manusia sama-sama lapar bisa saling duduk dan mendengarkan. Di sana, tidak ada yang merasa lebih pantas hidup daripada yang lain. Hanya manusia, sama-sama lelah dan bertahan. Selama semangkuk mie ayam masih ada dan suara dari trotoar belum sepenuhnya dibungkam, barangkali kita belum sepenuhnya kalah.
Penulis percaya bahwa punk bukan sekadar gaya hidup, tapi cara bertahan di tengah sistem yang tak ramah pada rakyat kecil. Terinspirasi dari semangat anak muda Surakarta bernama @kipli_space, memilih jalan ekonomi mandiri dengan berjualan, berbagi dan berdikari tanpa harus bergantung pada negara yang terlalu sibuk mengurus pencitraan. Bagi mereka bertahan adalah bentuk perlawanan. Membangun hidup dari bawah dengan tangan sendiri adalah bukti bahwa dunia bisa berjalan tanpa restu kekuasaan.
3 komentar untuk "Punk dan Semangkuk Mie Ayam"
Aku bantu jawab 1/1 yaw!
Soal komentar pertama aku setuju banget kalau punk itu nggak bisa dipisahin dari kondisi sosial politik yang lebih luas. ia memang lahir dari keterdesakan, dari struktur yang menindas. Tapi bener juga catatannya, kadang punk sendiri belum beres soal inklusi dan eksklusi. dan soal mie ayam, itu sebenarnya bukan buat nunjuk siapa penindas siapa tertindas, tapi lebih ke simbol realitas sehari-hari yang sering dilupakan, bahwa banyak hal yang kita anggap netral ternyata juga nggak lepas dari relasi kuasa. Tapi ya, bener juga, nggak semua bisa disimpulkan dari siapa makan apa, apalagi kalau itu malah jadi judgement baru. Noted banget poin itu 🙏
Dan buat komentar kedua aku juga makasih udah nunjukin kontradiksi yang ada. Memang agak dilematis ketika kita coba nolak sistem tapi masih kebawa bahasanya. Kadang-kadang itu strategi supaya pesan yang aku bawa masih bisa tersampaikan ke semua orang (ben gampang dipahami), jadi PR nya bukan cuma melawan sistem luar, tapi juga membebaskan cara kita merumuskan realitas. Poin soal bahasa dan simbol, aku sepakat bahwa simbol bisa berbahaya kalau cuma jadi penanda kosong, apalagi dalam konteks punk yang menolak komodifikasi identitas. Penekanan bahwa punk bukan sekadar gaya hidup justru maksud aku agar tidak berhenti di tampilan luar aja, tapi mengakar sebagai sikap hidup dan ya, itu memang butuh usaha lebih dari sekedar simbolik.
Sekali lagi, makasih buat waktunya udah baca dan merespons dengan teliti.
aku seneng dengan tulisanku bisa membuka ruang untuk diskusi kecil kek gini. Semoga forum kayak gini bisa terus jadi ruang tumbuh bareng ya, saling kritik, saling jaga.❤️✊ #dungdugndes
Posting Komentar