Dialog Dini Hari: Kembali ke Jalan dengan Suara yang Bertumbuh

Foto: @ricky.kurniawan___

City of Laboratory mengorganisir pertunjukan Suara Yang Bertumbuh bertempat di 1999 Social, Solo (16/06). Senin malam yang hangat bersama Dialog Dini Hari (Bali), Los Teposanos, Krisis Nasional (Solo) & F.M Abends (Klaten). Malam itu begitu penuh ketika penonton duduk bersila, sedikit susah bernafas karena dalam sebuah ruangan penuh dengan kepulan asap. Meski begitu, penonton terlihat senang dan menikmati pertunjukkan dengan set panjang milik Dialog Dini Hari.

Setelah pertunjukkan selesai, terlihat beberapa kawan minta legalisir pada rilisan fisik yang mereka bawa seperti kaset & CD, ada juga yang meminta foto. Ramai sekali sampai ada beberapa antrian, bahkan ada yang meminta gambar di salah satu bagian tubuh menggunakan spidol. Untungnya kami masih dapat kesempatan untuk ngobrol bareng bersama mereka, meski dengan segala keterbatasan tetap nekad.


Leluasa: Mungkin perkenalan bentar ya, kami Leluasa media dari Kabupaten Sukoharjo sebelahnya Kota Solo. Tapi karena kita beririsan dengan teman-teman dari Kota Solo, jadi kami sering istilahnya berkolaborasi. Kami biasanya masih upload menggunakan blog.


Leluasa: Oke, sekarang. ini mau tanya nih. Dialog Dini Hari kan juga pernah main di Solo ya? Nah, apa yang diingat dari Kota Solo sampai hari ini akhirnya kembali lagi ke sini? Apa yang membekas dari Kota Solo? 


Bli Dadang DDH: Aku pikir ini ya, lebih ke kawan-kawan di Solo ekspresif. Apa namanya, memberi apresiasinya itu lebih powerful gitu. Dan tidak segan mereka bertanya lebih ke kita. Walaupun kadang-kadang banyak juga DM-DM di akun Dialog Dini Hari itu selalu Solo. Dan aku pikir, kadang-kadang kan hari ini ngomongin sosial media masalah followers, jumlah. Tapi kalau kalian mikirin lagi, seratus pun banyak banget gitu. Makanya kadang-kadang akhirnya aku sama Mbak Ely admin itu selalu-selalu coba menjawab semua kawan-kawan yang DM dan sebagainya. Dan aku pikir Solo dari posting pertama udah ketahuan memang.  Solo selalu nanya. Dan kemarin yang ribet tentang merchandise habis, juga di Kota Solo. Karena merchandise-nya udah habis di hari kedua. Aku panik, bingung. 


Leluasa: Oke Mas, tadi sempat sedikit menyampaikan mengenai membangun jaringan juga di Solo. Dan juga kalau di Bali kan memang sudah ada jaringan tersendiri gitu ya di sana, dari membangun sampai jadilah terkoneksi.  Nah, sekarang.  Kalau saya ingat teman-teman dari Dialog Dini Hari itu di jaringan Solo, dulu pertama itu kayak apa masuknya dari apa? 


Bli Dadang DDH: Mungkin kalau aku berangkat. Aku deket sama kawan-kawan dari Rock In Solo. Jadi, misalnya sebagai Navicula, kawan-kawan udah lumayan di sini. Dan aku pikir Solo punya jalan sendiri untuk menjadikan diri di musik industri Indonesia. Mungkin dengan cara Rock In Solo. Terus kawan-kawan dari aku, juga deket sama kawan-kawan dari Soloensis. Jadi semuanya connectingnya gampang. Terus ada si Angga juga yang nyanyi. Jadi, kalau kita ngomongin secara bisnis pasti karena bahasanya akan networking. Kalau aku nggak, tapi kawan. Jadi personal ingin berkawan, ya karena biasanya kalau berkawan kan, eh kamu butuh apa? Aku bantuin. Itu berkawan. Kalau networking lain. Kamu butuh ini? Kamu punya apa aja nih? Aku punya ini. Semuanya harus ada keuntungan. Sebenernya berkawan pun juga gitu. Tapi dengan cara yang lain gitu. Lebih ke ethical moral gitu. Ada aturan yang lain. Tapi kalau bisnis itu lain tuh. Aku ngeluarin 50 harus lebih dapetnya, 100 gitu. Ini kan kalau networking dengan cara yang lain misalnya berkawan kan beda. Bahwa semuanya antusias membangun skena masing-masing, misalnya aku dari Bali. Besok kan kawan dari Solo, balik ke Bali. Aku gampang ngaturnya. Karena pasti akan pertukaran talenta. Dan aku sering lakukan. Banyak kawan-kawan dari Jawa atau Surabaya. Biasa itu. Tapi kalau di bisnis, enggak. Kalau di bisnis, enggak. Gue ngeluarin segini, harus dapet segini. Tapi saat itu dari bahasanya networking udah berubah artinya. Tapi keberkawan lain. 


Leluasa: Ini mas, aku pengen lanjut ke soal ekonomi musik ya. Sebenernya, entah ini di nasional juga atau mungkin di Solo. Karena yang dilihat itu, teman-teman menyoroti kayak musisi yang muncul kayak indie-folk atau ballad itu memiliki keterbatasan ruang untuk tampil. Dengan mereka yang mungkin sudah berdarah-darah gitu: rekaman, harus ngamen. Tapi mereka nggak bisa naik. Istilahnya, karya-karyanya juga tersebar luas. Itu sebenarnya apa sih mas? Kalau dari pengalamannya? 


Bli Dadang DDH: Kalau aku sih dulu mungkin ada yang orang kalau bikin karya sebenarnya manggung-manggung aja. Sebenarnya gitu, hari ini recording gampang. Mau recording di rumah pun tidak jadi soal. Tapi yang nggak pernah terjadi adalah kamu punya waktu luang cari panggung. Selalu ditunggu, selalu nunggu bola gitu. Karena sebenarnya bisa aja, misalnya kenapa let’s say, kita sempat vakum 2-3 tahun. Aku enggak pengen, ngapain orang nungguin kita diundang. Kita jalan aja. Karena bukan masalah saat kamu diundang, ada signing contract pekerjaan, lain ceritanya. Kalau ini kan enggak. Kita tour tuh hanya kita ingin nunjukin bahwa let's say, misalnya paling gampang band-nya masih exist. Tapi sebenarnya enggak juga. Karena karya ini tetap harus ada—Dan bahwa band-band ini masih masih gagah kok, masih jalan. Nah kalau ngomongin ribetnya promoting. Main musik nggak gampang. Bikin band nggak gampang. Aku udah ngerasain sama tiga orang ini. Capek juga gitu. Tapi timku kan minimalis banget. Tapi dengan kekuatan misalnya, apa namanya? Oke ngomongin duit lah. Tiap orang harus bekerja. Mereka punya keluarga. Tapi saat ngomongin musik ini lain. Seharusnya punya cara yang lain. Bahwa karya ini bisa ke mana-mana. Terus caranya gimana? Ya kita juga harus ke mana-mana dong. Tapi saat ngomongin dapur harus ngebul masing-masing juga punya pekerjaan. Kristian itu foundernya Just MP3. Dia founder Just MP3 di Bali. Kalo ngomongin duit, banyak duit dia. Mungkin sama kita gak seberapa gitu. Tapi ada hal yang lain yang harus kita express lebih. Dan ini soal engineer. Kemarin dia habis ngurusin banyak band. Kemarin, tetap aja nonton Aweng. Dia manggung di panggung sana-sini segala macam. Gajinya UMR lewat. Saat berkesenian kan lain ceritanya. Maksudnya kamu bikin karya, bikin nada. Terus orang denger. Itu lain ceritanya. Makanya saat band itu terjadi terus memikirkan visinya kamu mau ngapain nih? Mau terkenal ada, mau viral ada. Atau mau menyebarkan karya, caranya kayak gitu. Hari ini udah banyak tuh viral-viral. Bikin lagunya buat viral. Lain lagi ceritanya tuh. Mungkin ada knowledge-nya ya. Tapi aku gak mau tau. Kalau kita band yang no viral viral club

Foto: Syintya

Leluasa: Berarti hari ini semua domisili di Bali? Semua di Bali. Aktivitasnya di Bali. Kenapa? 

Bli Deny DDH: Semua di Bali. 


Leluasa: Antusias teman-teman sekarang kan udah sangat tinggi. Itu banyak yang mungkin belum tau jadi suka. Ingat gak sih pertama manggung sebenarnya kapan itu? Di sini main. Di mana main ? Yang First time lah. Pertama kali banget. Di manapun yang membekas itu mana?


Bli Dadang DDH: Di Bali pertama kali. Jadi sebenernya kita tuh band studio. Kita gak mau manggung. Kita cuma bikin album. Pertama kali DDH, dia tuh band studio. Cuman satu hari producer yang minta kita manggung dia bilang, oh ya mau gak si Heru minta kita, Heru nya Shaggydog. Biar ada opening, karena Shaggydog waktu itu main akustik. Di Bali belum ada band akustik. Terus mereka minta kita main. Aku bilang, enggak-enggak mau. Maka nabung dulu. Kita mau project studio doang. Bahkan namanya pun sedapatnya akhirnya kita pastikan nama itu waktu mau manggung malam itu. Pertamanya 4-5 harian sebelum itu. Jadi kita gak mau manggung. Akhirnya producer yang bawa kita ayolah..ayo, akhirnya kita okelah. Kita siap-siap latihan sebentar aja. Yang kita lupa adalah Shaggydog itu udah besar banget. Mereka main akustik. Terus kita yang opening. Jadi penonton itu isinya EO, jurnalis, sama orang-orang skena. Terus kita main opening. Jadi setelah malam itu 2 bulan kemudian gigs kita penuh. Terus kita panik. Aku beli gitar akustik lah. Karena bingung kan. Karena kita gak mikirin mau manggung. 


Leluasa: Jadi itu jadi pintu buat manggung? 


Bli Deny DDH: Iya dan akhirnya harus belajar. Kalau main studio kan gak perlu tuh suara yang bener-bener gini.


Leluasa: Kalau tour Dialog Dini Hari, apakah ada pesan tertentu yang mau disampaikan ke teman-teman? Yang dikunjungi mungkin. Semua teman-teman.


Bli Deny DDH: Apa sih sebenarnya untuk teman-teman pendengar, mungkin aku personal aja ya. Mungkin nanti Mas Dadang juga bisa jawab sendiri. Karena kan suara yang bertumbuh itu sebenarnya judulnya itu memang dari Mas Dadang. Jadi mungkin Mas Dadang punya sisinya dia kenapa harus suara yang bertumbuh. Kalau saya pribadi dan mungkin ngobrol juga sih sama Dadang. Sebenarnya di tour ini kan kita pengen kembali ke jalan. Kembali ke jalan, kembali jalan dan apa ya… kita merasa nggak nyaman aja kalau misalnya kita ada jarak sama pendengar seperti yang sebelumnya. Dan itu kan memang kita gak sengaja. Siapa yang mau ada jarak? Cuman waktu itu kita merasa seperti itu jadi sempet vakum juga, terus Zio juga nggak join akhirnya sama Krist, sama Aweng. Jadi kita berusaha untuk bangun yang ya… bilanglah baru ya. Nah, momen ini buat balik ke jalan. Dengan tour ini. Dan kita sebenarnya dari Bali pun punya visi untuk kita gak mau ada jarak sih, kita lebih intim tuh kayaknya bisa ngobrol: bisa gimana ya, sedekat aja gitu kayak orang biasa aja. Karena jebakan ya emang kalau musisi sama penontonnya. Karena jebakan, kayak musisi gak pengen diperlakukan kayak gitu cuman kayak jebakan panggung aja gitu. 

Nah itu, makanya kan saya bilang memang gak ada yang sengaja kan. Cuman ya momen ini yang kalau saya pribadi dan sempat ngobrol sama Mas juga ya mungkin itu salah satunya. Dan itu terjadi kan—dan kebetulan yang waktu kita mulai yang gak ada ekspek apa-apa oh ternyata terjadi. Ternyata vibes kedekatan itu ternyata bisa gitu. Mungkin Mas ada tambahan mungkin karena ini judulnya ini memang dari Mas Dadang.


Bli Dadang DDH: Kalau judulnya sih masalah gini. Kalau judulnya masalahnya kita kan bermusik selalu dengerin banyak referensi musik knowledge segala macem. Dan bayanganku dengan berempat ini kreasinya agak makin liar sebenarnya. Tapi dengan cara-cara yang mungkin secara let's say, marketing gitu tetap dengan cara yang sama. Tapi sebenarnya secara musikal ini udah jauh beda lah. Kita kayak kadang-kadang pas jadi kemarin album Renjana (2024) itu. 1-2 lagu kita bengong ini kok bisa gini sih. Tapi bayanganku, tim manajemen bilang mas ini cara yang lain masarin kayak ginian gimana?. Tapi yaudahlah, itu urusan lain. Karena aku pikir itu hal yang paling jujur yang kita lakukan. Apa yang kita ketahui apa yang kita pelajarin, apa yang kita denger terus kita ekspresikan dengan karya itu. Itu yang terjadi. Oh ya kita bikin simple aja biar gampang di dengerin gitu. Dari awal gitu soalnya. Jadi kita biarkan itu suara yang bertumbuh.


Bli Deny DDH: Makanya mas, lumayan ya filosofinya. Makanya aku setuju kan lumayan.

Bli Dadang DDH: Jadi alasanya ada teknis, tapi kalo mau filosofis ya ayoo, bisa hahaha..


Leluasa: Sama soal jaringan gitu. Jaringan pertemanan di Bali. Itu kan juga membangun Pohon Tua. Nah itu, setahu saya di daerah sini ya Solo-Jogja lah. Kan salah satunya Mas Danto Sisir Tanah. Nah itu apakah di situ ada kayak mungkin kurasinya seperti apa? 


Bli Deny DDH: Harusnya ya, ada, pasti itu. Karena gini waktu itu niatnya kita bikin aku lebih bahasakannya bukan label gitu. Karena waktu itu mengukurasi kawan-kawan ini saat dia diberikan banyak media. Misalnya media film latihan ada studio, ada recording, ada workshop ada knowledge, ada ilmu yang kita share gitu. Tim ini, tim-tim dari PTC-nya ya. PTC (Pohon Tua Creatorium). Itu harus worth it. Kita ngeluarin waktu uang banyak gitu misalnya. Terutama waktu ya, karena kita orang sibuk. Misalnya kita membantu band itu. Kita harus ada timbal baliknya secara bukan masalah uang, tidak. Masalahnya kalau kalian tidak serius kita jadi gak worth it. Makanya kurasinya jadi ketat. Bahwa kita mau garap beberapa band-band ini harus serius. Karena apa? Kita serius garapnya gitu. Makanya kurasinya bener-bener kadang aku saat kita ngutak-ngutik termasuk kok Krist dengerin lagu gitu, ini kurang ini bagus, kita dengerin lagi ke kawan-kawan yang memang bukan musisi. Mas ini asik nih, lumayan lama sampai orangnya datang eh kenapa kita dipilih mas? Mereka gak tau prosesnya. Walaupun kita bekerja di belakang. Kadang-kadang ada namanya Om Selo, dia INR artis yang kita bawa. Jadi dia yang aku kirim ke gigs. “Coba lihat band ini main. Bagus gak?” Kayak gitu misalnya. Jadi semuanya ada prosesnya. Karena saat kita kerja luangkan waktu, terus kita tidak butuh timbal balik apapun. Tapi paling tidak kita worth it saat mereka serius kerja keras dan jadi bagus. Terus akhirnya berkembang, kita udah senang. Kita kan udah di sofa doang nonton. Kita tau nih band ini. Gitu aja sebatas itu aja.


Leluasa: Terakhir mungkin dari teman-teman Dialog Dini Hari untuk menyapa pendengar, ya… teman-teman pendengar. Satu-satu ya mungkin ya pesan buat teman-teman pendengar. Mau pesan apapun  buat pendengar Dialog Dini Hari.


Bli Deny: Aku pesan nasi goreng mas…. Ha ha ha. Kalau aku buat pendengar tetap ikutin band ini, tetap dengerin karya kita. Karena kita gak akan pernah berhenti bikin lagu, bikin album. 


Bli Dadang: Sampai mungkin kemarin Pak Wayan ngomongin, “mas umur lo berapa? umur 47 kok masih tour?”. Terus kita ngomongin, jangan-jangan bisa nanti tu. Oh iya nanti 20 tahun lagi, “Mas umur mu berapa? umur 67 kok masih tur”. Biar gitu rasanya hahahaha


Mas Kristian: Kalau saya sih mau menyampaikan terima kasih ya pertama, buat pendengar DDH. Terima kasih apresiasinya, dan ditunggu terus karya-karya kita, karena karya-karya kita masih banyak di hardisk, di HP, masih banyak, jadi ditunggu aja, oke? Silahkan Mas Aweng…


Mas Aweng: Kalau aku sama. Sama kayak Bli Deny, terima kasih sama pendengar Dialog Dini Hari selama ini, karena aku baru join sama DDH hampir 3 tahun. Terus aku dapat pengalaman banyak sekali sama orang-orang tua ini semua, karena aku yang paling muda. Aku sangat menghargai. Aku yang paling muda, sama satu lagi appreciate buat kalian. Itu pesannya buat pendengar DDH, aku respect semua pendengar DDH. Ya, that's all. Ya, kalau dari aku mungkin terima kasih juga untuk semua pendengar yang sudah menikmati DDH dari awal, mungkin sampai sekarang gitu. Dan semoga karya-karya kita tetap bisa menjadi sesuatu yang indah buat pendengar ya gitu. Baik itu bermanfaat maupun relate dengan kehidupan mereka gitu. Semoga itu bisa berlangsung terus-terus gitu ya. Sekali lagi, saya mau bilang terima kasih.


Leluasa: Terima kasih, Mas. Matur suwun. Sugeng rawuh. Boleh foto dulu bareng mas ayok? 

DDH: Boleh, boleh ayo barengan. Minta tolong fotoin biar semua masuk.



Foto: Bli Wayan

Interviewer & Editor:
Munanda Okki Saputro
A. Dian Permana P.


Transkriptor: Chairel Daffa Amru

Posting Komentar untuk "Dialog Dini Hari: Kembali ke Jalan dengan Suara yang Bertumbuh"