Hari-Hari: Kosong dan Terisi

Gambar diolah oleh A.

Apa pengertian terdalam dari hari yang panjang? Sebagian teman menjawab karena rutinitas terus berulang, ada pula yang bilang, aktivitas yang tak pasti sebab tak terencana. Kita juga tak pernah tahu, mungkin saja, pengertiannya ialah serupa anak-anak yang seharian menunggu penjual kue putu lewat, meski kehadirannya tanggal datang.

Hari yang panjang. Pernyataan yang membuat kita berpikir keras—kadang melamun berlebihan. Sepertinya memang jawabannya jauh kepastian. Tak sempat berbeda ketika orang muda mendengar pernyataan orang tua, yang lebih sering menjadi angin lalu saja. Harimu panjang, kawan? Apa yang bisa dibagi di sini? Semoga kamu berada di lingkaran yang berkenan mendengar.

Begitulah kiranya yang dapat mengatasi kegundahan perihal waktu: mendengar dan didengar. Situasi yang jarang kita temui akhir-akhir ini sebab semuanya ingin berbicara dengan didasari stigma, justifikasi, hingga sikap enggan saling menghargai. Hal itu terjadi karena keinginan untuk mendominasi dan menguasai sangat tinggi. Sementara, ruang yang dimaksud adalah kita, yang tumbuh karena komunitas dan kebersamaan.

Jika keadaan demikian tidak segera terselesaikan dan terpahami, mungkin mimpi saling membahu untuk tumbuh hanya berada di gantungan saja. Di tempat itu, adanya hanyalah mimpi penuh sawang belaka. Benarkah mimpi dalam perjalanan waktu serupa datang dan pergi? Dan, hari adalah waktu menunggu mati? Bukankah hal itu terlampau singkat, sempit, dan sama sekali tak bernyawa?

Karena itu, Leluasa berupaya memberi alternatif pada hari yang panjang tanpa didengar. Leluasa memang bukan menjawab masalah. Bukan. Upaya yang ditawarkan pun belum tentu disempatkan: membaca. Entah, karena tak ada waktu, kepadatan kerja, hingga persoalan personal lainnya. Namun, Leluasa berupaya memberi jeda. Lewat daftar putar yang tersedia, puisi-puisi, esai-esai, dan rupa rilis lainnya.

Leluasa hadir dalam garis batas bebas, kadang kesusu, tak terencana, hingga jika benar-benar terdesak, sing penting mlaku. Maka, jika pembaca sekalian berharap rilisan tulisan yang ada akan sekelas media arus utama, atau buku-buku publikasi universitas, Leluasa belum berada pada level itu. Leluasa mencoba merekam sesuatu yang ada di sekitar. Begitu saja, hari sudah terasa sangat panjang, dan sambat di pelbagai tempat. Apalagi kalau penuh prasyarat.

“Piye?” tanya sing mbahureksa Leluasa.

“Leluasa adalah surga kreatif dunia,” jelas penulis esai ini sembari plilak-plilik.

Meski begitu, yang dimaksud, adalah mengupayakan sesuatu yang dapat diraih dengan tangan, salaman, dan penuh pengertian—berbasis halal tentunya. Setidaknya agar mampu memberi teman-teman kesempatan untuk melambat barang sebentar di tengah hiruk-pikuk dunia yang tak pasti ini. Atau, dengan kata lain: ngrepoti. Di situ, tak kurang hanyalah, agar waktu yang ada tampak padat dan produktif. Sekurang-kurangnya dapat memberi jawaban kepada tetangga yang bilang bahwa hidup sangat longgar dan gitu-gitu saja.

Seraya itu, ketika berkunjung ke Leluasa selama bulan Juli, teman-teman barangkali menemukan puisi anggitan Faza Nugroho berjudul Muka Dua Pelantur Dosa (26/07). Puisi yang bernas sekaligus lugas. Jelas kepada siapa puisi tersebut ditujukan. Namun, bagaimana apabila puisi tersebut terbaca oleh pembaca yang berjarak dengan tangkapan wacana terkait?

Adalah refleksi di pelbagai ruang manusia selalu membawa rupa-rupa muka. Lewat situasi semacam itu, adalah berupaya untuk menyelamatkan tempat. Di mana posisi seseorang yang terlanjur mendapat sorotan dipertahankan sebaik mungkin. Tentang anomali dikotomi dari satu tempat ke tempat lainnya. Muka adalah kunci memenangkan keadaan.

Puisi yang berisi banding-membanding ini tergarap jujur. Kritik terhadap keadaan yang rupa-rupanya tak hanya ditemui di kehidupan nyata, pula dirasakan di kehidupan dunia maya. Hampir setiap orang yang merasakan dampaknya akan membicarakan hal itu, sekalipun hanya lewat bisik-bisik.

... Kalau pohon tumbang/ solusinya mohon izin tambang...

Begitulah Nugroho, ia mengingatkan kita kepada pasal 33 dan 34 UUD 1945. Yang seharusnya menjadi praktik kebijakan untuk kemaslahatan orang banyak, namun *sebagian teks hilang. Praktik yang terjadi adalah tanda tanya kita semua, di mana tanda tanya terkait tidak bisa tersampaikan di sembarang tempat.

Nugroho menguliti kondisi sosio kultural lewat puisi. Mengantarkan kita kepada pengertian bahwa puisi masih terus terproduksi, sekalipun tersampaikan di jalan. Siapa yang membaca? Keadaan yang tak berpihak dan perih yang sama-sama terasa. Begitulah kejelian Nugroho ketika menulis puisinya: mesti tersampaikan langsung!

Mungkin puisi Nugroho tak dibicarakan di kalangan sastra, namun ia menulis puisi untuk dibaca siapa saja. Puisi yang tak terikat pada rumpun bahasan tertentu. Ia (baca:puisi) terjadi, dirasakan, dan barangkali berdampak pada khalayak banyak. Jika itu terjadi, maka puisi turut andil membangun kesadaran. Dari panas aspal, menuju refleksi keadaan.

Lalu, kita mendengar rilisan single Sprayer, Grow Up (2022), bahwa kugiran hardcore asal Sukoharjo itu dengan sepenuh-penuhnya mengatakan: cool kidz can’t die. Mungkin kita berhak menafsirnya bahwa agar tetap “ada” cara pamungkasnya hanya lewat keberanian dan kesadaran. Di mana keduanya merupakan sesuatu yang mahal, mesti dilakukan dengan langkah yang kadang mesti terjungkal.

Pada akhirnya, hari yang panjang tidak menutup segala kesempatan. Di situ justru menjadi tempat utuh dalam melakukan aktivitas yang sangat penting: belajar. Sebab, dengan begitu, kesia-siaan sulit dihadirkan. Kegiatan yang sama sekali jauh lebih baik alih-alih mementungi orang, menyita bendera Mugiwara, bahkan mengambil kardus minuman yang bukan miliknya.

Tercerahkanlah waktu yang tersisa. Dari yang membosankan hingga berarti. Dunia memang tak mengikuti bayangan hidup ideal yang kita bayangkan. Namun, yang tak pernah tanggal dari keberanian dan kesadaran adalah kisah-kisah. Mungkin itulah yang dibutuhkan kita sebagai manusia, saat berperan makhluk sosial, atau sebaliknya, makhluk personal.




Posting Komentar untuk "Hari-Hari: Kosong dan Terisi"