21 Tahun Rock In Solo: Antara Warisan, Panggung dan Jangkauan Baru
![]() |
Foto: Dok. Rock In Solo |
Teras Museum Radya Pustaka siang itu terasa berbeda, Selasa 19 Agustus 2025. Biasanya area ini tenang, tapi kali ini disesaki orang-orang berpakaian dominan hitam—penanda visual khas penikmat musik cadas. Di tempat yang biasanya menjadi ruang ingatan budaya Jawa, justru diumumkan sebuah agenda besar: festival musik cadas yang tahun ini genap berusia 21 tahun dengan 12 edisi di belakangnya. Konferensi pers ini bukan sekadar penyampaian jadwal dan lineup, melainkan titik temu antara sejarah yang terjaga dan denyut kontemporer yang terus bergerak.
Tahun 2025 menjadi momentum spesial: Rock In Solo XXI menandai perjalanan 21 tahun festival ini. Untuk kali kedua sejak 2013, perhelatan akan berlangsung dua hari penuh, 22–23 November 2025, di Benteng Vastenburg—salah satu ikon kota yang kini siap dialihfungsikan menjadi ruang perayaan kebebasan. Dari panggung konferensi pers diumumkan sebagian penampil. Empat di antaranya berasal dari luar negeri, jumlah terbanyak sepanjang sejarah Rock In Solo. Nama yang langsung mencuri perhatian adalah Mayhem, dedengkot black metal asal Oslo, Norwegia ini akan hadir setelah kurang lebih 10 tahun lalu terakhir manggung di Indonesia. Dari dalam negeri, lineup diwarnai oleh Sukatani (punk rock, Purbalingga), Negatifa (powerviolence, Jakarta), Viscral (death metal, Bekasi), kolaborasi Serigala Malam x DPMB dari Yogyakarta, serta Eden Adversary (symphonic deathcore, Solo).
![]() |
Mayhem menjadi headliner di RIS 2025 | Foto: Dok. Rock In Solo |
Namun Rock In Solo XXI tidak hanya bicara musik. Posisi strategis festival ini dalam ekosistem budaya Solo juga ditopang dengan aktivasi ekonomi lokal—dari UMKM hingga pengelolaan tenant. RIS sudah lama tidak hanya dilihat sebagai konser, melainkan motor yang ikut menggerakkan denyut ekonomi kota. Konferensi pers di Radya Pustaka juga membuka ruang diskusi tentang dampak lanjutan festival pada sektor lain di Solo. Hadir di antaranya Dewan Jenderal RIS Firman Prasetyo, Bung Tian dari Nocturnal Blazze, dan Astrid Widayani (Wakil Walikota Solo).
Program-program pendukung tetap jadi ciri khas: Rock The Wall, Rock Sinemas, Rock In Solo Chapter, hingga Rock in Karaoke. Tahun ini ditambah dengan gagasan segar, Rock Clean Fun—aksi bersih-bersih di kawasan Slamet Riyadi—yang menurut Firman adalah “bentuk kecil kepedulian lingkungan; tanpa lingkungan yang sehat, Rock In Solo tidak bisa digelar.” Program ini menegaskan bahwa festival cadas juga bisa membawa spirit keberlanjutan.
Mungkin menjadi menarik sekaligus menghidupi euforia RIS dengan membuka diskusi bersama teman-teman yaitu bagaimana RIS bisa memperluas dampaknya, tidak hanya untuk Solo, tapi juga daerah-daerah penyangga di sekitarnya. Secara lanskap, Solo dan kabupaten sekitarnya memiliki hubungan saling membutuhkan. Solo butuh energi, komoditas harian dan basis massa dari luar, sementara daerah penyangga butuh pasar atau panggung untuk menampilkan identitas khas mereka. Di titik ini, wacana Rock In Solo Chapter bisa menjadi jembatan. Apakah mungkin tiap daerah diberikan keleluasaan untuk menggarap program berbasis wacana dan kekhasan masing-masing? Jika iya, RIS bukan hanya festival kota, melainkan wadah ekspresi regional yang lebih luas, tempat setiap daerah bisa menyuarakan dirinya melalui musik cadas.
Penulis: Munanda Okki Saputro, pegelola Kedai Lahan Subur di Palur.
Editor: A.
Posting Komentar untuk "21 Tahun Rock In Solo: Antara Warisan, Panggung dan Jangkauan Baru"
Posting Komentar