Kolase Sebagai Metafora Untuk Kehidupan
Foto: @pascadentum |
Sore itu. Emosi, keluh kesah, perasaan dan keresahan tertuang dalam selembar kertas.
Raungan mesin-mesin kendaraan yang berlalu lalang dari atas jembatan terlihat saling ingin beradu kecepatan. Mungkin ada para orang tua yang baru saja pulang bekerja ingin bertemu keluarga dan istirahat setelah hampir 70% waktu mereka dihabiskan berada di pabrik-pabrik dan bergelut dengan mesin-mesin produksi, ada anak yang ingin segera ketemu orang tua nya, ada kawula muda yang mungkin ingin segera bertemu kekasihnya serta bus-bus antar provinsi yang ingin mengejar setoran kepada sang mandor.
Hidup di era yang di mana informasi menjadi sebuah makanan kita sehari-hari, hal ini justru malah berdampak negatif ke diri sendiri jika kita tidak mempunyai kontrol diri yang baik. Saking banyaknya informasi yang diserap dan diakses membuat saya malah semakin jauh dari diri sendiri. Terlalu banyak omong kosong yang saya telan, Terlalu banyak mata ini tertuju pada ponsel melihat berita tentang kebijakan ngaco penguasa yang sama sekali tidak pro terhadap kita (rakyat). Sementara, orang-orang yang ingin memperjuangkan hak-hak kehidupannya mendapat represifitas yang sangat massif dilakukan oleh instrumen negara. Seolah dunia ini hanya milik mereka, seolah mereka punya kontrol penuh atas diri dan tubuh kita.
![]() |
Suasana kegiatan kolase | Foto: R |
Sore itu di bawah jembatan dan tepat di pinggir Sungai Bengawan Solo, beberapa orang menyempatkan hadir dalam kegiatan yang diorganisir oleh Linimasa Kolektif dengan tajuk “Kolase Suka-Suka”. Sebuah kegiatan di sore hari untuk sekedar mengisi waktu luang bersama. Terlihat dari kejauhan beberapa orang yang sedang mencari cari gambar, memilahnya dari rongsokan koran dan majalah bekas kemudian merobek, memotong dan menempelkan kedalam media kertas HVS yang kemudian menjadi beberapa kumpulan/bagian yang dijadikan satu kesatuan bentuk karya unik yang disebut kolase. Seni kolase adalah seni yang lebih bebas dan tidak terikat pada aturan-aturan klasik seni tradisional. Tak seperti karya seni yang lainnya yang harus ada urutan pakem, dsb. Kolase dapat dilihat sebagai metafora untuk kehidupan itu sendiri. Kita dapat menuangkan perasaan emosional/keresahan kita dari visual-visual yang kita pilah tadi sesuai dengan kondisi pikiran atau perasaan kita dengan bebas. Sehingga kita bisa memperdaya diri kita dengan kreativitas tak terbatas.
Berkolase adalah kegiatan yang sangat menyenangkan, apalagi jika kegiatan ini dilakukan bersama teman-teman sambil bertukar cerita, berbagi pengalaman hidup sambil mendengarkan lagu favorit. Ada semacam kelegaan yang muncul ketika tangan-tangan kita mulai sibuk menempelkan potongan gambar dan kata. Seperti sedang merakit kembali serpihan-serpihan dari diri yang sempat berserakan oleh ritme hidup yang terlalu cepat. Setiap robekan bukanlah bentuk perusakan, tapi justru semacam upaya rekonstruksi. Potongan gambar dari koran dan majalah bekas, tulisan-tulisan yang sudah tak terbaca utuh, dan warna-warna yang bertabrakan membentuk narasi baru yang tak bisa ditemukan dalam satu gambar utuh mana pun.
![]() |
Hasil kolase | Foto: Dok. R |
Begitu pun hidup, ia tidak pernah utuh sejak awal. Kita tumbuh dalam fragmen dari luka masa kecil, dari tawa yang tidak sengaja tumpah saat hujan, dari keputusan-keputusan yang sering kali tidak masuk akal namun kita ambil juga karena "rasanya pas". Kita adalah kolase berjalan. Tidak sempurna, namun punya kekuatan dari ketidaksempurnaan itu sendiri. Justru dari ketidakteraturan dan keberantakan itulah muncul keunikan, sebuah identitas yang tidak bisa diciptakan oleh sistem manapun.
Dalam kegiatan ini tidak ada yang menuntut hasil akhir yang bagus atau estetik. Yang penting adalah proses bagaimana setiap orang menyusun kembali pikirannya, menata ulang emosi-emosi yang selama ini dibiarkan mengendap. Kadang kami tertawa karena menyadari bahwa gambar yang kami pilih begitu absurd, atau karena tulisan yang kami potong ternyata membentuk kalimat lucu yang tidak disengaja. Tapi dari tawa-tawa itu, ada semacam terapi. Ada pemulihan kecil-kecilan yang terjadi tanpa harus duduk di ruang konseling.
Saya pikir, kolase adalah bentuk perlawanan paling sederhana namun sangat penting: melawan keteraturan palsu, melawan tekanan untuk selalu tampil rapi dan terstruktur, melawan narasi tunggal yang sering kali memaksa kita untuk menjadi sesuatu yang bukan diri kita. Dan di tengah dunia yang semakin gila, aktivitas kecil seperti ini menjadi ruang aman, di mana kita boleh menjadi kacau, tapi tetap bernilai.
Mungkin itu kenapa, di sore-sore berikutnya, kami ingin kembali. Bukan hanya untuk berkolase, tapi untuk saling merawat. Sebab dalam kehidupan yang terus menerus dipaksa untuk produktif, berkolase adalah bentuk lain dari berdiam dan menerima. Bahwa kita, sebagaimana karya kolase, tidak harus utuh untuk tetap berarti.
Karanganyar, 17 April 2025
Penulis: Rio Anggono
Editor: A.
Posting Komentar untuk "Kolase Sebagai Metafora Untuk Kehidupan"
Posting Komentar